Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Prof. Maman Fathurrohman, Ph.D
Guru Besar Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Guru Besar Prodi Doktor Pendidikan, Pascarjana, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa; Penulis Buku Dinamika Kebangsaan Indonesia: 82 Masalah Kontemporer

Pajak Pendidikan Premium

Kompas.com - 20/08/2025, 14:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERNYATAAN Presiden Prabowo dalam Pidato Nota Keuangan APBN bahwa pajak adalah instrumen keadilan menarik untuk ditindaklanjuti, terutama dalam bidang pendidikan yang sebagian besar masih dianggap beban.

Partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan meningkatkan kesejahteraan guru dan dosen merupakan pilihan kebijakan paling logis pada kondisi keuangan negara saat ini.

Meski demikian, perlu penegasan sektor yang wajib membayar pajak agar tidak melampaui batas.

Pemerintah mengalokasikan BOS (Bantuan Operasional Sekolah) untuk biaya pendidikan dasar dan menengah mulai dari jenjang SD (Rp 900.000 - Rp 1.960.000 per siswa per tahun), jenjang SMP (Rp 1.100.000 - Rp 2.390.000 per siswa per tahun), hingga jenjang SMA sekitar Rp 1.500.000 per siswa per tahun.

Selain itu, pemerintah juga menganggarkan gaji guru dan dosen ASN termasuk honorarium sertifikasi dan tunjangan kinerja.

Baca juga: Rent-Seeking Behaviour: Ketika Negara Sibuk Memungut, Lupa Menumbuhkan

 

Kondisi ini memberikan gambaran bahwa ada keberpihakan pemerintah pada penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah di Indonesia.

Dalam praktiknya, layanan pendidikan dasar dan menengah negeri yang disediakan tersebut tidak seluruhnya memuaskan bagi masyarakat.

Bagi sektor keluarga tertentu, mereka mencari layanan pendidikan yang lebih, seperti sekolah berbasis keagamaan, sekolah internasional, maupun layanan pendidikan premium lainnya yang menawarkan kelebihan dari kualitas sarana dan prasarana, dukungan proses keagamaan, kesesuaiannya dengan waktu bekerja orangtua dan strata sosial keluarga siswa di masyarakat.

Banyak keluarga bersedia mengeluarkan biaya sangat besar untuk menjaga harapan agar anak-anaknya terbentuk sesuai visi sekolah pilihan dan lingkungan sosial orangtuanya.

Masalah selama ini, tak ada transparansi dari berbagai lembaga pendidikan, atau yayasan pengelola pendidikan premium terkait dana masyarakat yang dikumpulkan untuk lembaga tersebut.

Termasuk dalam hal ini penggunaan dan kepemilikan aset seperti gedung, sarana prasarana, maupun kendaraan yang sudah sepatutnya dikelola untuk kebermanfaatan pendidikan secara umum.

Jalur pemindahan kekayaan dari orangtua ke lembaga pendidikan, walaupun secara hukum bersifat nirlaba (non profit) tetap perlu diatur.

Fenomena ini melibatkan dana masyarakat yang sangat besar. Dengan demikian, tidak aneh mendorong banyak berdiri lembaga yang menyediakan berbagai jasa pendidikan premium.

Dalam konstitusi ditegaskan cita-cita besar sebagai bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Kondisi merdeka sudah tercapai pada tahun 1945. HUT ke-80 tahun ini menegaskan tentang bersatu dan berdaulat.

Namun, tampak jelas bahwa saat ini negara belum mencapai adil dan makmur. Tanpa keadilan, sepertinya akan sulit bagi pemerintah, siapapun presiden dan wakil presidennya untuk mewujudkan kemakmuran. Termasuk dalam bidang pendidikan dasar dan menengah.

Baca juga: Gaji Rp 100 Juta Wakil Rakyat

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau