Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar Hukum UB: Sopir Rantis Pelindas Ojol Harus Dipidana, Bukan Hanya Sanksi Etik

Kompas.com - 06/09/2025, 10:00 WIB
Nugraha Perdana,
Ayunda Pininta Kasih

Tim Redaksi

MALANG, KOMPAS.com - Penanganan hukum terhadap sejumlah aksi kericuhan di berbagai daerah mendapat sorotan. Pakar Hukum Pidana Universitas Brawijaya (UB), Prija Djatmika, mengingatkan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) untuk tidak tebang pilih, baik terhadap masyarakat sipil maupun anggotanya sendiri yang terbukti melanggar hukum.

Baru-baru ini, Polda Metro Jaya dengan cepat menetapkan enam tersangka penghasutan anak di bawah umur terkait aksi ricuh di Jakarta. Selain itu, juga menetapkan beberapa tersangka lain yang diduga terlibat pelemparan bom molotov hingga pembakaran fasilitas umum.

Namun, di sisi lain, penanganan terhadap tujuh anggota polisi yang melindas pengemudi ojek online (ojol) Affan Kurniawan hingga tewas dengan kendaraan rantis masih berstatus terduga pelanggar.

Begitu juga siapa terduga aparat penganiaya mahasiswa Universitas Amikom Yogyakarta, Rheza Sendy Pratama (21), hingga meninggal dunia saat terjadi kericuhan di depan Markas Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta (Mapolda DIY) juga masih belum jelas.

Baca juga: BEM se-UI Tegaskan Agus Setiawan Tak Wakili Mahasiswa UI di DPR: Representasi Palsu

Prija menjelaskan bahwa secara prosedur, penanganan hukum terhadap aparat berbeda dengan warga sipil. Anggota polisi atau militer yang melakukan pelanggaran akan melalui proses etik atau administratif terlebih dahulu.

"Polisi yang melindas ojol itu memang harus proses etik dulu. Misalnya pemecatan, itu sanksi administratif," kata Prija pada Rabu (3/9/2025).

Meskipun demikian, ia menjelaskan bahwa sanksi administratif tersebut sama sekali tidak boleh menutup proses pidana. Menurutnya, tindakan melindas korban dengan kendaraan rantis setelah sempat berhenti adalah murni tindak pidana yang sangat serius.

"Ketika dia nabrak, terus dia berhenti, kemudian dia melindas, itu murni tindak pidana pembunuhan Pasal 338 atau bahkan mungkin pembunuhan berencana Pasal 340 KUHP. Karena sudah ada jeda waktu antara perbuatan persiapan dan perbuatan pelaksanaan," ungkapnya.

Untuk mencapai keadilan, Menurutnya bahwa oknum yang memerintahkan dan yang mengemudikan kendaraan rantis tersebut harus dituntut pidana setelah sanksi administratif dijatuhkan.

Baca juga: BEM UI Gelar Demo Siang Ini Imbas Rantis Brimob Lindas Ojol

"Jadi kalau mau objektif, setelah tindak pidana, setelah sanksi administratif pemecatan ini, maka siapa yang memerintahkan dan yang mengemudi itu harus dipidana, dituntut pidana dengan 338 atau 340 KUHP, itu baru fair," jelasnya.

Prinsip utama proses hukum

Prija menekankan bahwa seluruh proses hukum, baik untuk sipil maupun aparat, wajib memenuhi tiga prinsip utama yakni transparan, akuntabel, dan admissibility (alat bukti dapat diterima secara hukum dan kredibel).

"Saya harapkan proses administrasi dari anggota Brimob yang melindas Ojol Affan Kurniawan itu tidak berhenti pada pemecatan saja. Harus ada penuntutan pidana karena ini asas equality before the law, semua orang sama di depan hukum," ujarnya.

"Jadi tidak adil, tidak fair kalau polisi yang melindas itu hanya selesai pada pelanggaran administratif," tambahnya.

Menurutnya, kasus ini menjadi batu ujian bagi Polri untuk membuktikan integritasnya. Janji Kapolri untuk membuka peluang proses hukum pidana bagi anggotanya yang bersalah kini ditunggu realisasinya oleh masyarakat.

"Tapi kan sudah ada jaminan dari Kapolri bahwa akan membuka peluang untuk proses hukumnya, tentu pidana, tuntutan pidananya tetap akan dijalankan," katanya.

Baca juga: Syarat Daftar Beasiswa BSI Talenta 2025, Ada Bantuan Biaya Kuliah dan Tugas Akhir

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau