Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Suka Naikkan Tarif Impor Tiba-tiba, Apa Maunya Trump?

Sejak awal kepemimpinan periode keduanya, Trump kerap menjadikan tarif impor sebagai alat utama kebijakan ekonomi.

Meski Trump kerap berubah-ubah dalam menyampaikan alasan, CNN pada Senin (7/7/2025) melaporkan bahwa ada empat tujuan besar di balik kebijakan tarif, yaitu:

  • Menghidupkan kembali sektor manufaktur Amerika.
  • Meningkatkan pendapatan negara.
  • Mengurangi defisit neraca perdagangan.
  • Menekan negara lain agar membuat kebijakan yang menguntungkan AS.

Trump kerap menyebut tarif sebagai “obat mujarab” ekonomi. Ia percaya bahwa kebijakan ini dapat mengembalikan pekerjaan buruh pabrik, menyeimbangkan anggaran negara, memaksa negara lain duduk di meja perundingan, sekaligus meringankan beban pajak warga Amerika.

Misalnya, Apple akan menggelontorkan 500 miliar dollar AS (Rp 8,11 kuadriliun) untuk pabrik di dalam negeri.

General Motors pun berencana meningkatkan kapasitas produksi senilai 4 miliar dollar AS (Rp 64,92 triliun) di "Negeri Paman Sam".

Namun, para ekonom dan pelaku industri menilai dampak nyata tarif impor terhadap kebangkitan sektor manufaktur masih terbatas.

Sebagian investasi yang diumumkan terjadi sebelum tarif diberlakukan. Selain itu, pembangunan pabrik membutuhkan waktu bertahun-tahun hingga benar-benar beroperasi.

"Anda lihat saja. Kita akan punya pekerjaan. Kita akan punya pabrik terbuka. Ini akan hebat," kata Trump di pesawat kepresidenan Air Force One, Maret lalu.

Kendati demikian, masalah tenaga kerja terampil juga menjadi hambatan besar. Pada Mei, Departemen Tenaga Kerja AS mencatat ada 414.000 lowongan kerja di sektor manufaktur yang belum terisi. Hal ini menunjukkan minimnya minat atau keterampilan di kalangan pekerja domestik.

Dari sisi statistik, jumlah pekerjaan manufaktur justru mengalami penurunan. Setelah mencatatkan tambahan 9.000 pekerjaan dalam dua bulan awal masa jabatan, sektor ini kehilangan 7.000 pekerjaan per bulan dalam dua bulan terakhir. Total pekerjaan manufaktur kini lebih rendah dibandingkan saat Trump mulai menjabat.

"Kita akan menghasilkan banyak uang... dan mungkin kita akan menghapus pajak penghasilan seluruhnya," sesumbar Trump saat kembali dari lawatan internasional, April lalu.

Namun, prediksi tersebut dinilai jauh panggang dari api.

Hingga kini, tarif impor hanya menghasilkan kurang dari 100 miliar dollar AS (Rp 1,62 kuadriliun). Padahal, untuk menggantikan penerimaan pajak penghasilan yang mencapai 3 triliun dollar AS (Rp 48,69 kuadriliun) per tahun, tarif harus diterapkan hingga 100 persen pada seluruh impor.

Bahkan, menurut ekonom Torsten Slok dari Apollo Global Management, tarif mungkin perlu mencapai 200 persen agar bisa menyamai penerimaan pajak.

Ironisnya, beberapa tarif yang paling tinggi justru bersifat sementara. Misalnya, tarif terhadap Kanada, Meksiko, dan China, yang diterapkan sebagai tekanan untuk isu-isu non-ekonomi seperti penyelundupan narkotika.

Jika tujuan tersebut tercapai, tarif akan dicabut, dan pendapatan negara pun ikut berkurang.

Untuk menanggulangi hal itu, Trump memperkenalkan tarif timbal balik yang menghukum negara-negara dengan defisit perdagangan besar terhadap AS

Salah satu dampak awal dari kebijakan ini adalah penyempitan defisit perdagangan barang, dari 130 miliar dollar AS (Rp 2,11 kuadriliun) menjadi sekitar 60 miliar dollar AS (Rp 973,75 triliun) dalam sebulan.

Namun, para ekonom memperingatkan bahwa dampak ini kemungkinan bersifat sementara.

Jika defisit terus turun, bisa jadi itu menandakan daya beli warga Amerika menurun, bukan karena ekspor AS meningkat, tetapi karena impor melemah.

Selain itu, tidak semua barang bisa diproduksi di AS. Sejumlah produk, seperti barang elektronik atau komoditas tertentu, lebih murah dan efisien diproduksi di negara lain.

Ancaman tarif sebagai alat negosiasi

Trump menjadikan tarif sebagai alat tekan dalam berbagai perundingan internasional. Baru-baru ini, ia mengunggah surat kepada pemimpin Korea Selatan dan Jepang, yang menyatakan kedua negara akan dikenai tarif 25 persen mulai 1 Agustus kecuali tercapai kesepakatan dagang.

Ancaman serupa juga berhasil membatalkan rencana Kanada untuk memberlakukan pajak layanan digital terhadap perusahaan AS.

Namun, kebijakan ini tidak selalu berhasil. Produksi iPhone tetap tidak dipindahkan ke Amerika, fentanil masih mengalir masuk ke negara itu, dan studio Hollywood tetap membuat film di luar Los Angeles.

Jika suatu negara akhirnya menyetujui tuntutan Trump, tarif kemungkinan besar akan dicabut. Artinya, tujuan peningkatan pendapatan negara dari tarif juga tidak tercapai.

Meskipun Trump berhasil mencetak sejumlah keberhasilan jangka pendek, para analis menilai bahwa tujuan besar kebijakan tarifnya saling bertentangan.

Jika tarif digunakan untuk menekan negara lain, maka tarif itu akan dicabut ketika kesepakatan tercapai.

Apabila tarif bertujuan meningkatkan pendapatan negara, maka logikanya harus diberlakukan terus-menerus.

Jika tarif ingin mendorong produksi dalam negeri, maka barang impor harus dihindari, dan ini berarti tak ada lagi yang membayar tarif.

Dengan kata lain, menurut laporan CNN, kebijakan tarif impor Trump sulit memenuhi semua tujuan tersebut secara bersamaan.

Sebagai negara dengan ekonomi besar dan relatif tidak tergantung pada ekspor, AS memang memiliki ruang untuk menerapkan tarif tanpa langsung terdampak resesi.

Namun, dampak jangka panjang terhadap ekonomi global dan domestik masih menjadi tanda tanya.

https://www.kompas.com/global/read/2025/07/08/171819470/suka-naikkan-tarif-impor-tiba-tiba-apa-maunya-trump

Bagikan artikel ini melalui
Oke