GEORGETOWN, KOMPAS.com - Guyana, salah satu negara terkecil di Amerika Selatan, tengah menggelar pemilu yang diyakini dapat berdampak besar pada pasar minyak dunia dan hubungan dengan Amerika Serikat (AS).
Pada Senin (1/9/2025), Guyana menggelar pemilihan untuk menentukan presiden, anggota parlemen, dan dewan regional.
Melansir CNN pada Selasa (2/9/2025), presiden petahana Irfaan Ali dari Partai Progresif Rakyat/Civic mencalonkan diri kembali.
Ia melawan Aubrey Norton dari Partai People’s National Congress Reform, serta Azurddin Mohamed dari partai baru We Invest in the Nation (WIN).
Sebelumnya, Mohamed dikenai sanksi oleh AS pada 2024 terkait dugaan penyalahgunaan sektor emas.
Peningkatan ekonomi Guyana
Negara terkecil di Amerika Selatan ini mengalami reformasi ekonomi sejak ExxonMobil menemukan hampir 11 miliar barel minyak di perairan dalam pada 2015.
Produksi minyak di Guyana kemudian meningkat pesat hingga sekitar 650.000 barel per hari.
Hal itu membuat pertumbuhan ekonomi Guyana mencapai 63,3 persen pada 2022, 33,8 persen pada 2023, dan melonjak 43,6 persen pada 2024, menurut Bank Dunia.
IMF bahkan menempatkan negara ini sebagai pemilik laju pertumbuhan GDP tertinggi di dunia.
Menurut laporan Global Energy Monitor, Guyana diperkirakan akan memproduksi hingga 2 juta barel per hari pada 2035, setara dengan total produksi Kolombia, Ekuador, Peru, Trinidad, dan Tobago, serta Venezuela pada 2022.
Ryan Berg dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) menyebut, “Laju pertumbuhan Guyana saat ini sungguh mengesankan.”
Namun, ia menekankan bahwa kekayaan minyak perlu dikelola secara inklusif dan stabil.
Ketegangan dengan Venezuela
Pemilu di Guyana digelar di tengah ketegangan dengan Venezuela yang mengklaim wilayah Essequibo, daerah kaya minyak dan emas yang dihuni 125.000 orang.
Caracas bahkan mengesahkan undang-undang pada 2024 untuk menciptakan “Negara Guayana Esequiba”.
Pemerintah Guyana menyebut klaim Venezuela sebagai “ancaman eksistensial”.
Sengketa ini masih menunggu putusan Mahkamah Internasional (ICJ), meski Venezuela menegaskan tidak akan mengakui yurisdiksi pengadilan.
Benjamin Gedan, seorang peneliti di Universitas Johns Hopkins dan mantan direktur untuk Amerika Selatan di Dewan Keamanan Nasional AS, menilai pemilu Guyana dapat memicu ketegangan sosial baru, yang berisiko memperdalam polarisasi etnis sekaligus membuka peluang campur tangan Venezuela.
Guyana di antara rivalitas global
Guyana kini berada di pusat rivalitas global. Perusahaan minyak AS memimpin produksi di negara tersebut, sementara China berinvestasi dalam infrastruktur, termasuk pembangunan jembatan baru Sungai Demerara.
“Guyana akan berada di pusat persaingan antara Amerika Serikat dan China,” kata Berg.
Ia menilai Guyana cenderung bisa menjaga hubungan dengan kedua negara sesuai kepentingan proyek masing-masing.
Sementara itu, Gedan mencatat presiden petahana Ali tampak lebih dekat dengan Washington, ditunjukkan oleh serangkaian kunjungan luar negeri ke AS.
Berg menilai AS membutuhkan mitra yang kuat di Guyana karena banyak alasan, baik ekonomi maupun dalam hal keamanan.
Namun, Guyana tetap terbuka pada investasi China di luar sektor minyak.
Imdat Oner, seorang analis politik di Florida International University, mengungkapkan bahwa kepentingan China di Guyana tidak hanya soal minyak, tetapi juga pengaruh di wilayah tersebut yang secara tradisional dianggap sebagai “halaman belakang AS”.
Dengan posisi itu, negara terkecil Amerika Selatan yang memproduksi minyak dalam jumlah besar ini memiliki peran penting dalam geopolitik global.
Oner mengatakan bahwa tantangan Guyana adalah menjaga keseimbangan.
Jika Guyana berhasil, Oner menilai, negara ini bisa mengubah hubungan dengan AS dan China menjadi keuntungan ekonomi dan politik yang nyata.
“Waktu yang akan menjawabnya,” ucap Oner.
https://www.kompas.com/global/read/2025/09/02/181633470/negara-kecil-di-amerika-selatan-ini-punya-dampak-besar-bagi-as