LUANDA, KOMPAS.com - Gambar seorang perempuan ditembak dari belakang oleh polisi dan teriakan temos fome atau "kami lapar", menjadi dua momen yang paling membekas dalam ingatan Julio Candero, aktivis hak asasi manusia (HAM) asal Angola.
Kedua peristiwa itu menggambarkan puncak kemarahan rakyat Angola dalam demonstrasi besar-besaran yang pecah awal Juli 2025 ini, sebagaimana dilansir Al Jazeera, Selasa (5/8/2025).
Protes bermula dari kebijakan pemerintah yang memangkas subsidi bahan bakar minyak (BBM). Langkah tersebut memicu gelombang unjuk rasa selama beberapa hari, disertai pembakaran ban dan penjarahan di sejumlah kota besar.
Meski ketegangan kini telah mereda di Ibu Kota Luanda dan wilayah lain, tanda-tanda kerusuhan masih terlihat.
Aparat keamanan bersenjata lengkap masih berjaga di beberapa titik. Puing-puing toko dan sisa kendaraan yang dibakar menjadi bukti amarah yang sempat membara.
"Luanda perlahan-lahan kembali ke ritme biasanya, tetapi jelas, ini adalah kota yang berbeda. Di seluruh kota, Anda melihat tanda-tanda dari apa yang terjadi beberapa hari terakhir ini," kata Candero yang juga menjabat sebagai Direktur LSM Mosaiko.
Baca juga: Akibat Masih Beli Minyak Rusia, Trump Ancam Naikkan Tarif Barang India Lagi
Keresahan warga memuncak pada 1 Juli 2025 setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga solar sebesar 33 persen.
Keputusan tersebut merupakan bagian dari paket penghematan fiskal menyusul tekanan Dana Moneter Internasional atau IMF agar Angola memangkas pengeluaran negara, termasuk subsidi BBM.
Pada 12 Juli demonstrasi pecah, tetapi berlangsung damai. Akan tetapi, ketegangan meningkat setelah asosiasi sopir taksi melancarkan mogok nasional selama tiga hari.
Setelah itu, aksi demonstrasi berubah menjadi kerusuhan. Aparat keamanan menindak pengunjuk rasa dengan keras.
Menurut data resmi pemerintah, sebanyak 22 orang tewas dalam bentrokan antara polisi dan massa. Sebanyak 197 orang terluka, dan lebih dari 1.200 orang ditangkap.
Candero menyebut kerusuhan ini sebagai salah satu pergolakan terburuk yang dia saksikan sejak era kudeta 1977 dan kekerasan pasca-pemilu 1992.
"Ini hanyalah permulaan," ujarnya.
Menurut Menteri Koordinasi Ekonomi Angola Jose de Lima Massano, subsidi BBM tahun lalu mencapai 3 miliar dollar AS (Rp 48 triliun), atau setara anggaran 1.400 proyek pembangunan. Akibat keterbatasan fiskal, sekitar 500 proyek harus ditangguhkan.
Baca juga: Terus Beli Minyak Moskwa, AS Tuduh India Danai Perang Rusia di Ukraina
Angola, negara penghasil minyak ketiga terbesar di Afrika, hanya mampu memenuhi 30 persen kebutuhan bahan bakar domestiknya melalui satu-satunya kilang tua peninggalan era kolonial.