Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

China Jor-joran Danai Proyek Hijau Asia Tenggara, tapi Diam-diam Cemari Lingkungan

Kompas.com - 25/08/2025, 16:06 WIB
Inas Rifqia Lainufar

Editor

Penulis: David Hutt/DW Indonesia

MOROWALI, KOMPAS.com - Mulai dari pabrik pengolahan nikel di Indonesia hingga tambang logam tanah jarang di Myanmar, ekspansi perusahaan China dianggap berisiko menimbulkan dampak jangka panjang bagi lingkungan serta masyarakat lokal, menurut para pemerhati lingkungan.

Fenomena ini sebagian dipicu aturan ketat dan kelebihan kapasitas industri di China, daya tarik tenaga kerja murah, lemahnya penegakan hukum lingkungan, dan melimpahnya sumber daya di negara-negara tetangga.

Meski tercatat sebagai penyandang dana terbesar energi bersih di Asia Tenggara, banyak analis menilai investasi hijau China sering kali tersamarkan oleh keterlibatan mereka di sektor yang paling merusak lingkungan.

Baca juga: Tambang Tembaga Bawah Tanah Terbesar di Dunia Runtuh, Penyelamat Berpacu Waktu

Situasi tersebut kini jadi lebih kompleks. Modal China bisa membantu membangun ladang energi surya dan bendungan tenaga air, tapi sekaligus memicu konflik lingkungan, risiko kesehatan, dan ketegangan politik yang makin meningkat.

Hal ini juga menimbulkan pertanyaan: apakah pemerintah Asia Tenggara benar-benar serius melindungi lingkungan seperti yang mereka klaim?

“Faktanya, sebagian besar pemerintah lebih mementingkan pembangunan ekonomi daripada keberlanjutan lingkungan. Itu sama persis seperti yang dulu dilakukan pemerintah China,” kata Zachary Abuza, profesor di National War College, Washington DC, kepada DW.

Gelombang penolakan di Indonesia

AKSI Protes Masyarakat Kawe izin tambang dicabut PemerintahMaichel. KOMPAS.com AKSI Protes Masyarakat Kawe izin tambang dicabut Pemerintah

Sejak akhir tahun lalu, muncul gelombang protes dan mogok kerja di sejumlah pabrik pengolahan nikel milik China di Indonesia.

Pada Juli lalu, pemerintah mengumumkan akan memberi sanksi kepada perusahaan yang melanggar aturan lingkungan di kawasan industri nikel Morowali, Sulawesi, yang dikelola raksasa logam China, Tsingshan Holding Group.

Sebelumnya, pada Februari, lembaga riset keamanan C4ADS menemukan bahwa lebih dari tiga perempat kapasitas pemurnian nikel Indonesia dikuasai perusahaan China, banyak di antaranya terkait dengan pemerintah di Beijing.

Dua perusahaan China, termasuk Tsingshan, sudah menguasai lebih dari 70 persen kapasitas pemurnian nasional.

“Minimnya kendali domestik membuat Indonesia bergantung pada investasi China, yang bisa membatasi kemampuan pemerintah untuk meminta pertanggungjawaban industri,” tulis laporan tersebut.

Dugaan pencemaran di Sungai Mekong

Di Myanmar, perusahaan China juga dituduh mencemari Sungai Mekong akibat ekspansi tambang logam tanah jarang di wilayah konflik.

Komunitas di Laos dan Thailand belakangan melaporkan lonjakan arsenik dan logam beracun lain di sungai.

Pada Juni lalu, badan lingkungan Thailand menguji air di Chiang Mai dan Chiang Rai, wilayah yang berbatasan dengan negara bagian Shan di Myanmar, dan menemukan kadar arsenik hampir lima kali di atas standar internasional air minum.

Sebuah laporan di Myanmar mencatat jumlah tambang logam tanah jarang di satu negara bagian melonjak hampir tiga kali lipat menjadi sekitar 370 sejak kudeta militer 2021.

Hal ini mendorong pejabat dan anggota parlemen Thailand menekan China agar membatasi dampak lingkungannya. Kedutaan China di Bangkok pun menegaskan bahwa semua perusahaan “mematuhi hukum negara tuan rumah dan selalu beroperasi secara sah.”

Namun, Pianporn Deetes, Direktur Kampanye di NGO International Rivers, mengingatkan bahwa risiko polusi justru akan makin besar dengan rencana pembangunan bendungan Pak Beng di Laos yang didanai China. Bendungan ini dikhawatirkan bisa menjebak dan mengakumulasi sedimen tercemar di waduknya.

Dorongan energi hijau

Di tengah kritik itu, China juga tercatat sebagai investor terbesar energi terbarukan di kawasan.

Zero Carbon Analytics melaporkan, dalam 10 tahun terakhir China sudah menanamkan lebih dari 2,7 miliar dollar AS (Rp 43,89 triliun) untuk proyek energi bersih di Asia Tenggara, terutama lewat inisiatif Belt and Road.

Namun, ekspansi ke sektor padat polusi juga terus berjalan.

Artikel Nikkei Asia menyebut, banyak industri berat yang mencemari kini hengkang dari China dan pindah ke negara-negara Asia Tenggara yang lebih kecil, termasuk di antaranya industri kertas bekas, besi, dan baja.

“Sejak 2017, produsen baja China mulai melirik Asia Tenggara karena regulasi lingkungan di dalam negeri makin ketat serta kelebihan kapasitas,” tulis laporan itu.

Selain itu, menghindari tarif AS juga jadi motivasi relokasi industri.

“Pabrik-pabrik ini memang menciptakan lapangan kerja dan kaitan dengan ekosistem industri lebih luas. Namun, sebagian besar pekerjaannya bergaji rendah dan berisiko bagi kesehatan,” kata Guanie Lim dari Japan's National Graduate Institute for Policy Studies.

Fengshi Wu, profesor di University of New South Wales, menambahkan bahwa negara-negara seperti Indonesia menerapkan “nasionalisme sumber daya” lewat larangan ekspor, agar mineral diproses di dalam negeri. Tujuannya jelas: mendapat nilai tambah lebih besar, alih-alih hanya mengekspor bahan mentah.

Baca juga: Ledakan Tambang Batu Bara di Iran Tewaskan 51 Pekerja dan Lukai 20 Orang

“Indonesia ingin lebih banyak mineral diproses di dalam negeri. Namun ini juga berarti lebih banyak polusi, kecuali ada pengendalian lingkungan yang benar-benar efektif,” ujarnya.

Meski berisiko, China tetap diminati banyak negara

Pada akhirnya, persoalan ini tetap bermuara pada hukum pasar.

“China punya perusahaan-perusahaan dengan pengalaman dan kemampuan tinggi, tapi bergerak di sektor yang paling mencemari lingkungan,” jelas Juliet Lu, profesor di University of British Columbia, Kanada, kepada DW.

Meski lembaga keuangan internasional mulai enggan membiayai sektor itu, banyak pemerintah Asia Tenggara tetap tertarik karena ambisi mengejar pertumbuhan ekonomi cepat.

Apalagi, di tengah persaingan global memperebutkan logam tanah jarang, cadangan mineral yang belum digarap di Asia Tenggara semakin bernilai strategis.

“Pertanyaan yang jarang ditanyakan adalah: apakah perusahaan non-China yang beroperasi di sektor sama dan negara yang sama benar-benar lebih baik?” kata Lu.

“Kalau memang pelanggaran perusahaan China lebih parah, di mana tuas yang bisa dipakai untuk mendorong perubahan, baik di China maupun di negara tuan rumah?”

Bagaimanapun, tambahnya, dana, keahlian, dan layanan China sangat diminati. “Negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, dan Myanmar, yang butuh jalan, infrastruktur energi, atau tambang baru, punya banyak alasan untuk menggandeng China.”

Baca juga: Tambang Tanah Jarang di Myanmar Longsor, 5 Orang Tewas dan 7 Lainnya Hilang

Artikel ini pernah dimuat di DW Indonesia dengan judul Jejak Cina di Asia Tenggara, Penyelamat atau Perusak Alam?

 

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau