Penulis: Tinshui Yeung/BBC News Indonesia
KOMPAS.com - Setelah dua kali gagal, Sanae Takaichi (64) berhasil mewujudkan ambisi lamanya. Dia terpilih sebagai pemimpin Partai Demokrat Liberal (LDP), partai yang berkuasa di Jepang, bertepatan dengan ulang tahun ke-70 partai tersebut pada Sabtu (4/10/2025).
Kemenangan ini menempatkannya sebagai calon perdana menteri perempuan pertama di Jepang.
Sebelumnya, ia bersaing dengan calon-calon lain dari partai konservatif. Figurnya dikenal cukup kontroversial karena pandangannya soal kebijakan terkait perempuan.
Antara lain, penolakan revisi undang-undang agar perempuan tak perlu mengikuti nama keluarga pasangan hingga dorongan pada perempuan untuk menjadi istri dan ibu di tengah turunnya angka pernikahan dan kelahiran di Jepang.
Perspektifnya terhadap ekonomi juga cenderung mengikuti mazhab yang dijalankan mendiang Shinzo Abe.
Kontroversi lainnya soal Takaichi adalah pandangannya yang mendorong rakyat Jepang untuk bekerja bagai kuda.
Baca juga: Turis Spanyol Diterkam Beruang Liar di Desa Wisata Jepang
Lahir di Prefektur Nara pada tahun 1961, latar belakang Takaichi jauh dari panggung politik. Ayahnya adalah seorang pekerja kantoran dan ibunya adalah seorang polisi wanita.
Semula, ia terkenal sebagai pemain drum heavy metal yang andal. Ia bahkan sering membawa banyak stik karena mematahkannya saat bermain dengan intensitas tinggi.
Ia juga memiliki hobi menyelam dan otomotif. Kendaraannya, Toyota Supra, kini dipajang di Museum Nara.
Sebelum akhirnya terjun ke dunia politik, Takaichi pernah menjadi pembawa acara di televisi.
Inspirasi politiknya tumbuh pada 1980-an, di tengah memanasnya friksi perdagangan AS-Jepang. Bertekad untuk memahami pandangan AS terhadap negaranya, ia bekerja di kantor Patricia Schroeder, anggota kongres Demokrat yang dikenal kritis terhadap Jepang.
Baca juga: Sanae Takaichi Akan Jadi PM Wanita Pertama Jepang, Siapa Dia?
Pengalaman ini membuka matanya tentang bagaimana orang Amerika kesulitan membedakan bahasa dan budaya Jepang, China, dan Korea. Ia pun bertekad membuat Jepang dihormati dan dipahami secara global.
"Jika Jepang tidak mampu mempertahankan diri, nasibnya akan selalu bergantung pada opini publik AS yang dangkal," ujarnya.
Ia menjajal pemilihan parlemen pertamanya pada 1992 melalui jalur independen. Hasilnya saat itu, Takaichi kalah.