Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tepatkan Rencana PK Kedua Silfester Matutina?

Mahkamah Agung pada 20 Mei 2019, menjatuhkan vonis pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan terkait pencemaran nama baik Jusuf Kalla. Vonis kasasi tersebut justru memperberat vonis awal selama 1 tahun.

Namun pada 4 September 2025, permohonan PK tersebut dinyatakan tidak memenuhi syarat formil. Selanjutnya pada 9 September 2025, dilakukan pencabutan permohonan PK.

Belakangan, Silfester melalui kuasa hukumnya menyatakan akan kembali mengajukan permohonan PK. Tepatkah rencana langkah hukum mengajukan PK kedua tersebut?

Dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP, disebutkan persyaratan untuk mengajukan permohonan PK, yaitu:

  1. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; atau
  2. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; atau
  3. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Permohonan PK diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya kepada Mahkamah Agung melalui pengadilan negeri yang memutus perkara pada tingkat pertama.

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04 Tahun 2014 mengatur lebih rinci bahwa ahli waris hanya dapat mengajukan PK apabila pewaris atau terpidana telah meninggal dunia.

Dengan demikian, apabila terpidana masih hidup, maka permohonan PK harus diajukan sendiri oleh terpidana, atau melalui kuasa hukumnya jika terpidana sedang menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan (lapas).

Hal ini sebagaimana diatur dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2016 yang menyatakan permintaan PK diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya ke pengadilan pengaju, kecuali jika terpidana sedang menjalani pidana di lapas atau rumah tahanan negara (rutan), permintaan PK dan menghadiri persidangan PK serta penandatanganan berita acara pemeriksaan PK dapat dilakukan oleh kuasa hukum terpidana.

Apabila terpidana belum menjalani pidana atau terhadap terpidana belum dilakukan eksekusi, maka permintaan PK dan menghadiri persidangan PK serta penandatanganan berita acara pemeriksaan PK harus dilakukan sendiri oleh terpidana, dan tidak dapat dilakukan oleh kuasa hukum terpidana.

Filosofinya adalah sebagaimana termuat dalam SEMA Nomor 07 Tahun 2012 yang menyatakan kuasa dalam hukum pidana tidak mewakili, tetapi mendampingi, sehingga terpidana atau pemohon PK harus hadir, walaupun dalam hal ini tetap dapat didampingi oleh kuasa hukum.

Pada prinsipnya kehadiran pemohon PK adalah keharusan. Apabila pemohon PK tidak hadir, maka konsekuensinya perkara PK tidak dapat diterima.

SEMA Nomor 07 Tahun 2012 bahkan menyatakan “adalah ironis apabila terpidana menuntut haknya, sementara kewajibannya melaksanakan Putusan Mahkamah Agung tidak dipenuhi/dilaksanakan.”

Dengan demikian, Silfester mesti hadir jika mengajukan PK. Padahal, Kejaksaan selama ini beralasan tengah mencari yang bersangkutan untuk melakukan eksekusi putusan.

Pada prinsipnya, permohonan PK sama sekali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap seperti perkara Silfester.

Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang tentang Mahkamah Agung dan juga Pasal 268 KUHAP.

Dalam tahapan pengajuan PK, setelah pengadilan negeri menerima permohonan PK, maka selanjutnya ketua pengadilan negeri menunjuk hakim (yang tidak memeriksa perkara awal) untuk memeriksa apakah permohonan PK yang diajukan telah memenuhi alasan yang ditentukan dalam KUHAP.

SEMA Nomor 3 Tahun 2018 menentukan bahwa hakim pengadilan negeri yang memeriksa alasan permohonan PK wajib memberikan pendapat mengenai aspek formal dan materiil terhadap alasan-alasan PK yang dimohonkan oleh pemohon PK.

Lalu, bagaimana apabila permohonan PK tersebut ternyata dicabut sebelum diputus oleh Mahkamah Agung?

Pasal 64 ayat (3) Undang-Undang tentang Mahkamah Agung menyatakan bahwa permohonan PK dapat dicabut selama belum diputus, dan dalam hal sudah dicabut, maka permohonan PK tidak dapat diajukan lagi.

Permohonan PK Kedua

Untuk dapat mengajukan permohonan PK kedua, persyaratannya lebih sulit daripada permohonan PK pertama.

Dalam pengajuan permohonan PK kedua, persyaratannya telah dibatasi dengan tegas berdasarkan SEMA Nomor 07 Tahun 2014.

Ada pembatasan alasan untuk permohonan PK yang diajukan lebih dari satu kali, yakni apabila ada suatu objek perkara terdapat dua atau lebih putusan peninjauan kembali yang bertentangan satu dengan yang lain, baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana.

Ketika ada permohonan PK yang tidak sesuai dengan ketentuan tersebut, maka ketua pengadilan negeri tingkat pertama akan menetapkan permohonan tersebut tidak dapat diterima. Dengan demikian, berkas perkaranya tidak perlu dikirim ke Mahkamah Agung.

Dalam SEMA Nomor 03 Tahun 2023 juga diatur bahwa pengajuan PK kedua sebagaimana dimaksud SEMA Nomor 10 Tahun 2009 juncto SEMA Nomor 7 Tahun 2014 apabila dalil pertentangan dua/lebih putusan pengadilan berbeda yang didalilkan oleh pemohon PK/terpidana tidak terbukti, maka amar putusan permohonan PK/terpidana tersebut dinyatakan ditolak.

Dengan demikian, apabila dalam suatu objek perkara tidak terdapat dua atau lebih putusan peninjauan kembali yang saling bertentangan antara satu dengan yang lain, baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana, atau tidak ada pertentangan antara dua atau lebih putusan pengadilan berbeda, maka sebenarnya sudah tertutup peluang untuk mengajukan permohonan PK kedua.

Terlebih lagi dalam hal permohonan PK (pertama) ternyata telah dicabut, maka konsekuensi hukumnya pengajuan permohonan PK (kedua) tidak dapat lagi diajukan sebagaimana ketentuan Pasal 64 ayat (3) Undang-Undang tentang Mahkamah Agung.

https://www.kompas.com/konsultasihukum/read/2025/10/17/131119380/tepatkan-rencana-pk-kedua-silfester-matutina

Bagikan artikel ini melalui
Oke