KOMPAS.com - Di tengah lebatnya hutan hujan tropis Borneo, tersembunyi makhluk yang seolah keluar dari dunia fantasi: biawak tanpa telinga. Reptil kecil ini misterius, langka, dan memiliki penampilan menyerupai naga mini yang memikat para ilmuwan. Namun, mengapa hewan ini begitu sulit ditemukan? Dan apa yang membuatnya begitu istimewa?
Biawak tanpa telinga, atau Lanthanotus borneensis, adalah spesies yang begitu langka hingga para herpetolog menyebutnya sebagai “Holy Grail” dunia reptil. Spesies ini adalah satu-satunya anggota yang masih hidup dari keluarganya—menjadikannya jendela langka menuju masa lalu evolusi.
Para ilmuwan meyakini nenek moyang terakhir hewan ini hidup lebih dari 66 juta tahun lalu, pada masa dinosaurus masih mendominasi bumi. Dengan kata lain, biawak kecil ini adalah fosil hidup yang berhasil bertahan melintasi zaman kepunahan.
Tubuhnya ramping dengan panjang mencapai 50 cm, dilengkapi ekor lentur yang dapat melilit seperti monyet, dan sisik kasar yang membantunya menempel pada tanah berlumpur. Tak hanya itu, kelopak matanya tembus pandang—dan seperti namanya, hewan ini benar-benar tak memiliki telinga luar. Semua keunikan ini membuatnya mampu bersembunyi sempurna di tepi sungai dan rawa Borneo, menjadi perpaduan antara perenang dan penggali tanah yang andal.
Habitat yang Kian Menghilang
Sayangnya, “naga mini” Borneo ini bisa jadi cuma ada di Serawak (Malaysia) dan Kalimantan Barat. Kurangnya penelitian dan wawasan tentang satwa misterius ini, termasuk juga pola penyebaran, dan populasinya, menyebabkan peneliti sulit menentukan penyebarannya.
Dan justru karena keterbatasan habitatnya, ia kini berada di ujung tanduk. Deforestasi besar-besaran untuk perkebunan dan pembangunan telah menghancurkan banyak wilayah hutan yang menjadi rumahnya. Akibatnya, biawak tanpa telinga kini masuk dalam Daftar Merah IUCN sebagai spesies yang terancam punah.
Selain kehilangan habitat, hewan ini juga menghadapi ancaman serius dari perdagangan satwa ilegal. Karena kelangkaan dan penampilannya yang eksotis, banyak kolektor hewan langka memburu spesies ini untuk dijadikan peliharaan, meski perdagangan ini dilarang keras.
Si Hantu Hutan yang Nyaris Tak Terlihat
Salah satu alasan mengapa biawak tanpa telinga masih penuh misteri adalah sifatnya yang sangat tertutup dan aktif di malam hari. Di siang hari, ia bersembunyi di balik daun kering, celah batu, atau tepi sungai. Kulitnya yang kasar dan warna tubuh yang serupa dengan tanah membuatnya nyaris tak terlihat—seolah mengaktifkan “mode siluman” alami.
Namun, penelitian terbaru mulai mengungkap perilaku unik hewan ini. Biawak tanpa telinga memakan cacing, kepiting kecil, dan ikan mungil. Ia bahkan kawin di air selama berjam-jam, dan ketika banjir melanda, ekornya berfungsi seperti jangkar alami agar tidak terbawa arus.
Penemuan-penemuan kecil seperti ini sangat penting. “Setiap perilaku yang kami pelajari membantu kami memahami cara terbaik melindungi mereka,” ujar salah satu peneliti yang terlibat dalam studi konservasi spesies ini.
Menjaga Naga Purba dari Kepunahan
Keberadaan biawak tanpa telinga bukan sekadar keajaiban evolusi, melainkan pengingat akan rapuhnya keanekaragaman hayati Borneo. Menyelamatkan spesies ini bukan hanya tentang melindungi satu jenis reptil, tetapi juga menjaga keseimbangan ekosistem yang telah terbentuk selama jutaan tahun.
Jika upaya konservasi berhasil, kita bukan hanya menyelamatkan seekor “naga mini”, tetapi juga menjaga salah satu warisan hidup dari zaman dinosaurus agar tetap lestari.
Kini, nasib si naga kecil ini berada di tangan manusia. Pertanyaannya: apakah kita bisa bertindak cukup cepat untuk memastikan makhluk purba ini tetap hidup—agar generasi mendatang masih bisa menyaksikan salah satu keajaiban tertua di planet ini?
https://www.kompas.com/sains/read/2025/10/31/193921223/fosil-hidup-dari-borneo-mengintip-rahasia-naga-mini-tanpa-telinga