Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rahasia Kodok yang Bisa Berubah Jadi Kuning Neon dalam Dua Hari

Kompas.com - 01/11/2025, 11:49 WIB
Wisnubrata

Penulis

KOMPAS.com - Setiap tahun, ketika hujan monsun pertama turun di India dan Asia Tenggara, terjadi fenomena unik di dunia hewan. Kodok jantan dari spesies Asian Common Toad (Duttaphrynus melanostictus) tiba-tiba berubah warna dari cokelat seperti puding menjadi kuning cerah layaknya neon hanya dalam hitungan menit. Fenomena ini bukan sekadar keindahan alam—melainkan strategi bertahan hidup dan cinta yang luar biasa efisien.

Para ilmuwan dari Schönbrunn Zoo, Wina, baru-baru ini mengungkap alasan di balik perubahan warna dramatis ini. “Warna kuning yang muncul hanya selama dua hari itu berfungsi sebagai sinyal visual agar para jantan tidak salah sasaran saat mencari pasangan,” ujar Susanne Stückler, peneliti utama studi tersebut.

Baca juga: Benarkah Kita Bisa “Teler” karena Menjilat Kodok? Ini Penjelasannya

Dari Cokelat ke Kuning: Bukan Untuk Menarik Betina

Menariknya, perubahan warna ini bukan untuk menarik perhatian betina—berbeda dengan banyak spesies lain yang memamerkan warna mencolok untuk menggoda lawan jenis. Justru sebaliknya. Warna kuning terang pada kodok jantan berfungsi sebagai “rambu lalu lintas biologis” agar sesama jantan tidak saling salah paham di tengah hiruk pikuk musim kawin yang hanya berlangsung dua hari.

“Dalam kondisi kawin massal seperti ini, para jantan bisa salah menilai. Mereka bahkan bisa mencoba kawin dengan jantan lain, dengan kodok dari spesies berbeda, ikan, atau bahkan benda mati,” jelas Stückler.

Untuk membuktikannya, tim ilmuwan membuat model kodok 3D berwarna cokelat dan kuning, lalu meletakkannya di tengah koloni kodok yang sedang mencari pasangan. Hasilnya? Para jantan dua kali lebih sering menyentuh model cokelat dan 40 kali lebih sering mencoba ‘mengawini’ model itu dibandingkan model kuning.

Eksperimen ini membuktikan bahwa warna kuning bukanlah simbol daya tarik, melainkan kode visual pengenal antarjantan. Seperti kata Doris Preininger, ahli herpetologi dari Vienna Zoo yang juga penulis studi ini:

“Warna kuning hanya memberitahu bahwa individu itu jantan—tidak lebih, tidak kurang.”

Baca juga: Katak dan Kodok: Serupa Tapi Tak Sama, Ini Cara Mudah Membedakannya

Kodok Asia sedang kawin di awal musim hujanS. Stückler et al., Ichthyology & Herpetology Kodok Asia sedang kawin di awal musim hujan

Proses Perubahan yang Dipicu Hormon

Berbeda dengan bunglon atau gurita yang bisa mengubah warna dalam hitungan detik, kodok jantan membutuhkan sekitar 10 menit untuk bertransformasi. Perubahan ini tidak dikendalikan oleh sistem saraf, melainkan oleh hormon stres seperti adrenalin.

Di bawah kulit mereka terdapat lapisan sel khusus bernama chromatophore. Sel ini terdiri dari tiga jenis: yang membawa pigmen gelap, pigmen kuning-merah, dan lapisan reflektif seperti cermin kecil. Saat hormon tertentu dilepaskan, susunan pigmen dan cermin mikro ini bergeser, menghasilkan warna kuning terang yang bisa bertahan hingga dua hari sebelum kembali ke cokelat.

Baca juga: Kenapa Kodok Bersuara?

Drama Dua Hari: Persaingan Sengit dan Bahaya Nyata

Meski terdengar romantis, kenyataannya musim kawin kodok ini lebih mirip pertarungan gladiator. Para jantan saling dorong, menendang, bahkan berebut betina yang jumlahnya sangat terbatas.

“Mereka bisa membentuk mating balls, di mana beberapa jantan menempel pada satu betina hingga si betina berisiko tenggelam,” kata Stückler. Setelah berhasil bertelur, betina biasanya segera melarikan diri, bersembunyi di lubang-lubang untuk menghindari kejaran jantan lain.

Namun, semua kegilaan itu berlangsung singkat. “Sehari setelahnya, yang tersisa hanya untaian telur di air,” ujar para peneliti. Sekitar seminggu kemudian, telur-telur itu menetas menjadi berudu dan menyebar, menandai berakhirnya siklus hidup tahunan yang singkat namun intens.

Baca juga: Apa Perbedaan Katak dan Kodok?

Ancaman dari Perubahan Iklim

Fenomena alam ini sangat bergantung pada waktu datangnya hujan monsun pertama. Namun, perubahan iklim global kini mengacaukan pola hujan tersebut.

Menurut K. V. Gururaja, pakar amfibi dari Srishti Manipal Institute of Art, Design and Technology, pergeseran pola hujan bisa berakibat fatal:

“Jika kodok bertelur saat hujan singkat lalu diikuti hari-hari panas panjang, semua telur akan mengering. Populasi bisa turun drastis di tahun-tahun berikutnya.”

Dengan waktu kawin yang sangat sempit dan ketergantungan tinggi pada cuaca, kemampuan kodok ini untuk beradaptasi dengan perubahan iklim menjadi faktor kunci kelangsungan hidup mereka.

Penelitian ini bukan hanya menjawab misteri unik pada satu spesies, tetapi juga membuka cara pandang baru dalam biologi evolusi. “Temuan ini bisa mengubah cara kita menafsirkan sinyal warna di berbagai kelompok hewan, bahkan pada burung atau kupu-kupu,” kata Rayna Bell, kurator herpetologi di California Academy of Sciences.

Studi yang diterbitkan dalam jurnal Ichthyology & Herpetology ini menegaskan bahwa warna bukan sekadar alat menarik perhatian, tetapi juga sistem komunikasi penting di alam liar—terkadang untuk menghindari, bukan mendekati.

Baca juga: Kurang Subur, Kodok Betina Ini Pilih Kawini Jantan dari Spesies Lain

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang



Terkini Lainnya
BMKG Konfirmasi 43,8 Persen Wilayah Indonesia Masuk Musim Hujan, Kenali Potensi Cuaca Ekstrem
BMKG Konfirmasi 43,8 Persen Wilayah Indonesia Masuk Musim Hujan, Kenali Potensi Cuaca Ekstrem
Fenomena
Berusia 6 Juta Tahun, Sampel Udara Tertua di Bumi Ditemukan di Es Antartika
Berusia 6 Juta Tahun, Sampel Udara Tertua di Bumi Ditemukan di Es Antartika
Fenomena
Alarm dari Laut: Lumba-Lumba Kena Alzheimer Gegara Limbah Manusia, Ini Bukti Ilmiahnya
Alarm dari Laut: Lumba-Lumba Kena Alzheimer Gegara Limbah Manusia, Ini Bukti Ilmiahnya
Oh Begitu
Teleskop James Webb Bongkar Rahasia Komet 3I/ATLAS: Diselimuti Kerak Radiasi Kosmis Miliaran Tahun
Teleskop James Webb Bongkar Rahasia Komet 3I/ATLAS: Diselimuti Kerak Radiasi Kosmis Miliaran Tahun
Fenomena
Identik dengan Halloween, Labu Ternyata Bisa Simpan Bahan Kimia Beracun
Identik dengan Halloween, Labu Ternyata Bisa Simpan Bahan Kimia Beracun
Oh Begitu
Fosil Badak Salju dari Kutub Utara Ungkap Jembatan Darat Atlantik Kuno
Fosil Badak Salju dari Kutub Utara Ungkap Jembatan Darat Atlantik Kuno
Oh Begitu
Nebula Kelelawar Hantu: ‘Tamu’ Kosmik yang Muncul di Langit Halloween
Nebula Kelelawar Hantu: ‘Tamu’ Kosmik yang Muncul di Langit Halloween
Fenomena
Supermoon Emas November 2025: Purnama Terbesar Sepanjang Tahun
Supermoon Emas November 2025: Purnama Terbesar Sepanjang Tahun
Oh Begitu
Gempa M 5,1 Guncang Laut Sarmi Papua, Tidak Berpotensi Tsunami
Gempa M 5,1 Guncang Laut Sarmi Papua, Tidak Berpotensi Tsunami
Fenomena
Anjing-Anjing Menjadi Biru di Zona Chernobyl, Apa yang Terjadi?
Anjing-Anjing Menjadi Biru di Zona Chernobyl, Apa yang Terjadi?
Oh Begitu
Rahasia Kodok yang Bisa Berubah Jadi Kuning Neon dalam Dua Hari
Rahasia Kodok yang Bisa Berubah Jadi Kuning Neon dalam Dua Hari
Oh Begitu
77 Kerangka Kristen Awal Ditemukan di Situs Gereja Tertua Aarhus Denmark, Berusia Sekitar 900 Tahun
77 Kerangka Kristen Awal Ditemukan di Situs Gereja Tertua Aarhus Denmark, Berusia Sekitar 900 Tahun
Oh Begitu
Sejarah Halloween dan Día de Muertos, Lahir dari Perkawinan Budaya Kematian Celtic dan Aztec
Sejarah Halloween dan Día de Muertos, Lahir dari Perkawinan Budaya Kematian Celtic dan Aztec
Oh Begitu
Mengapa Pria Lebih Tinggi Dibanding Wanita? Studi Jelaskan
Mengapa Pria Lebih Tinggi Dibanding Wanita? Studi Jelaskan
Oh Begitu
Studi Baru: Daging Olahan dan Minuman Manis Jadi Racun Terburuk bagi Otak
Studi Baru: Daging Olahan dan Minuman Manis Jadi Racun Terburuk bagi Otak
Kita
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau