KOMPAS.com – Warna pink atau merah muda dan warna hijau belakangan ini menjadi sorotan publik. Kedua warna tersebut tidak sekadar tampilan visual, tetapi memiliki arti dan latar belakang masing-masing.
Dalam kehidupan sehari-hari, perpaduan warna kerap menyimpan makna yang lebih dalam daripada sekadar estetika. Tak jarang, sebuah warna mampu memicu diskusi luas, membentuk identitas, hingga menandai pergeseran budaya populer.
Di sisi lain, warna juga bisa menyatukan atau justru memecah persepsi masyarakat, tergantung pada cara dan konteks penggunaannya. Lalu, apa sebenarnya makna di balik warna pink dan hijau?
Baca juga: Warna Pink Dianggap Tidak Ada dalam Sains, Apa Alasannya?
Warna pink memiliki makna yang luas dan berlapis. Secara umum, warna ini identik dengan kelembutan, kebahagiaan, kasih sayang, serta nuansa feminin.
Sebagai perpaduan antara merah dan putih, pink menghadirkan kesan cerah namun tetap lembut.
Dari sisi psikologis, warna ini sering dianggap menenangkan, membangkitkan empati, kebaikan hati, serta menciptakan suasana yang damai dan nyaman.
Dalam berbagai budaya, pink juga melambangkan romantisme, harapan, keberuntungan, hingga cinta yang manis dan penuh perhatian.
Dalam ranah sosial, pink juga berkembang menjadi simbol perjuangan dan kesadaran, seperti pita pink yang digunakan dalam kampanye peduli kanker payudara. Namun, ternyata ada sejarah sebelum identik dengan nuansa feminim.
Baca juga: Demo: Sejarah, Peraturan, dan Tujuannya
Sejak zaman kuno, di Mesir, Yunani, hingga Romawi, pink kerap dikaitkan dengan cinta dan romansa, namun juga melambangkan status, keberanian, dan kekuasaan. Pada awalnya, warna ini tidak secara khusus diasosiasikan dengan perempuan atau feminitas.
Di Eropa abad ke-18 dan ke-19, pink justru dianggap netral dan sering digunakan untuk anak laki-laki karena dinilai sebagai versi lembut dari merah yang melambangkan kekuatan.
Melansir dari Art and Object,Madame de Pompadour, selir Raja Louis XV dari Prancis, menjadi salah satu tokoh yang memopulerkan warna pink pada abad ke-18.
Ia memesan satu set porselen berwarna pink dari pabrik Sèvres, dan warna khusus itu kemudian dinamai “Rose Pompadour” sebagai penghormatan kepadanya.
Kala itu, pink dipandang sebagai simbol kemewahan dan menjadi bagian dari tren Rococo yang digemari kalangan elit Eropa.
Namun, memasuki abad ke-20, pengaruh pemasaran, budaya populer, dan stereotip gender mulai mengubah persepsi masyarakat.
Pink yang semula netral bergeser menjadi warna yang identik dengan kelembutan, cinta, dan feminitas, hingga akhirnya melekat erat pada citra perempuan di banyak budaya modern.
Baca juga: Apa Perbedaan Darurat Sipil dan Militer?