KOMPAS.com - Pada akhir Perang Dunia II, Amerika Serikat memilih Hiroshima dan Nagasaki sebagai sasaran bom atom mereka.
Alasan Amerika memilih Hiroshima dan Nagasaki adalah mempertimbangkan nilai strategis kedua kota itu.
Peristiwa jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki ini memaksa Jepang menyerah di Perang Dunia II.
Baca juga: PBB dan Tata Dunia Baru Pasca Perang Dunia II
Pada 1940-an, Hiroshima dikenal menjadi pusat produksi perlengkapan perang dan juga tempat pertemuan militer.
Kota Hiroshima memiliki pelabuhan penting yang mendukung logistik tentara Jepang.
Di sisi lain, Nagasaki berfungsi sebagai pangkalan angkatan laut serta pusat industri pertahanan laut.
Kota itu memiliki galangan kapal dan pabrik-pabrik perlengkapan perang.
Dengan menghancurkan dua kota tersebut, Amerika Serikat berharap dapat melumpuhkan sebagian besar kemampuan militer Jepang dan menghentikan produksi persenjataan mereka.
Serangan terhadap Hiroshima dan Nagasaki juga dirancang untuk mengganggu sistem logistik militer Jepang serta memperlambat persiapan mereka dalam menghadapi invasi Sekutu.
Keputusan ini diambil dengan harapan Jepang akan menyerah lebih cepat sehingga menghindari perang darat berkepanjangan yang berpotensi menimbulkan korban jiwa lebih besar.
Baca juga: Tragedi Jelang Kemerdekaan: Kisah Dr. Achmad Mochtar Jadi Kambing Hitam Jepang
Pemilihan kota Hiroshima dan Nagasaki dilakukan oleh sebuah kelompok yang dikenal dengan nama Target Committee, terdiri dari ilmuwan dan perwira militer.
Melansir Kompas.id, mereka menyusun daftar kota potensial yang terdiri dari Kyoto, Hiroshima, Yokohama, Kokura, dan Nagasaki.
Awalnya, Kyoto termasuk dalam daftar utama. Namun, Sekretaris Negara Amerika Serikat saat itu, Henry Stimson, mengusulkan agar kota tersebut dihapus dari daftar.
Dalam tulisannya di Harper’s Magazine, Stimson menyebut bahwa Kyoto adalah kota dengan nilai sejarah dan budaya tinggi di Jepang.
Henry Stimson mengklaim keputusannya itu didukung Presiden Harry Truman.