KOMPAS.com - Proses pembentukan Bumi ternyata melewati berbagai zaman dengan cuaca panas atau dingin yang ekstrem silih berganti.
Hal ini dapat ditelusuri melalui skala waktu geologi yang kerap dipakai ilmuwan untuk membaca peristiwa tertentu dalam sejarah pembentukan planet Bumi.
Dilansir dari Labxchange, skala waktu geologi terbagi ke dalam zaman Hadean, Arkean, Proterozoikum, dan Fanerozoikum.
Dengan menjelajah skala waktu geologi ini, kita dapat memahami bagaimana Bumi bisa hangat, panas ekstrem, lalu tiba-tiba dipenuhi bola salju dan mendingin.
Lantas, dari melihat skala waktu geologi, seberapa panas yang bisa dialami oleh Bumi?
Baca juga: NASA Temukan Planet Super-Bumi yang Berukuran Dua Kali Besar Bumi Kita
Dilansir dari Science News, Kamis (17/7/2025), Bumi pernah mengalami keadaan yang sangat panas di masa lalu, yaitu di zaman Hadean dan zaman Kapur.
Zaman Hadean adalah bagian awal dari sejarah pembentukan Bumi yang terjadi sekitar 4,6 miliar tahun yang lalu.
Pada masa itu, Bumi mengalami tumbukan besar dengan obyek seukuran Mars, Theia, yang melelahkan sebagian besar planet dan membentuk lautan magma panas.
Peristiwa ini juga membentuk Bulan dari puing-puing tumbukan serta kenaikan suhu terjadi dengan sangat ekstrem.
Pada saat itu, suhu Bumi bisa mencapai 10.000 derajat Celcius, menurut ahli geologi dari UCLA, Mark Harrison.
Seiring waktu, atmosfer mulai mendingin, uap batu mengembun, dan magma perlahan mengeras.
Setelah itu, zaman memasuki periode Arkean yang ditandai dengan stabilitas iklim dan hangatnya sinar Matahari.
Kemudian, periode Arkean terganggu oleh zaman Proterozoikum yang menyebabkan seluruh permukaan Bumi tertutup es dan penurunan suhu terjadi secara drastis.
Proses ini dipicu oleh umpan balik albedo (ukuran seberapa banyak cahaya atau radiasi Matahari yang dipantulkan oleh suatu permukaan), di mana semakin banyak es menyebabkan semakin banyak cahaya Matahari dipantulkan, sehingga mendorong pendinginan ekstrem.
Akhirnya, akumulasi karbon dioksida dari gunung berapi memicu efek rumah kaca yang mencairkan es dan mengakhiri zaman beku ini.
Zaman berlanjut hingga memasuki periode Kapur sekitar 90 juta tahun lalu.
Pada masa ini, Bumi kembali panas dengan suhu rata-rata 36 derajat Celcius, sementara di laut kutub mencapai 27 derajat Celcius.
Suhu pada zaman kapur dapat digambarkan panas, lembap, dan penuh hutan, tetapi tidak sampai memusnahkan spesies.
Baca juga: Punya Peran Penting bagi Kehidupan Bumi, Apa Fungsi Lapisan Ozon?
Pada masa sekarang ini, perubahan iklim Bumi tidak hanya dipicu oleh aktivitas planet, tetapi juga aktivitas manusia sendiri.
Selama 2,3 juta tahun terakhir, iklim Bumi mengikuti pola siklus orbit (Milankovitch) secara bergantian antara zaman es dan antar-zaman es.
Namun, emisi karbon akibat ulah manusia telah mengganggu pola ini, bahkan mungkin membatalkan glasiasi selanjutnya.
Menurut para ilmuwan, pada tahun 2100, miliaran manusia diperkirakan akan hidup dalam kondisi panas dan lembap ekstrem.
Sementara itu, pada 2500, sekitar empat puluh persen daratan dimungkinkan sudah tidak cocok digunakan untuk kehidupan seperti sekarang.
Meski Bumi akan pulih secara geologis, mereka mengatakan bahwa pemulihan itu akan berjalan terlalu lambat.
Ilmuwan juga menduga, dalam jangka panjang, pemanasan Matahari dan pelapukan kimia akan terus menurunkan kadar karbon dioksida hingga fotosintesis tidak lagi bisa terjadi.
Lalu dalam 1 miliar tahun, oksigen diperkirakan bisa hilang dari atmosfer dan keadaan Bumi kembali seperti saat zaman Hadean.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini