KOMPAS.com - Lini masa media sosial X ramai membahas mengenai imbauan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) terkait penggunaan rekaman kicauan burung atau suara alam di ruang komersial.
Menurut LMKN, rekaman suara hewan dan alam terikat oleh hak cipta, yaitu termasuk hak terkait yang dilindungi oleh undang-undnag.
Dengan begitu, pelaku usaha tetap perlu membayarkan royalti apabila menggunakan rekaman tersebut di ruang komersialnya, layaknya saat menggunakan lagu dari musisi.
Hal ini menuai reaksi yang beragam dari warganet, termasuk tentang kepada siapa royalti kicauan burung dan suara alam tersebut dibayarkan.
"Maksudnya bayar ke burung gitu. Lah buat kebijakan cari2 royalty, tanggung resikolah kalau buat kebijakan, jangan malah org dicari2 kesalahan karena pakai sesuatu alternatif menyikapi aturan. Nanti yg bikin pakai AI lu mau minta duit rolality juga?" tulis t********n, pada Selasa (5/8/2025).
Lantas, kepada siapa royalti rekaman kicauan burung dan suara alam dibayarkan?
Baca juga: Ini Alasan Kafe dan Restoran Kena Royalti jika Putar Suara Alam dan Burung
Pakar Hukum Ekonomi Bisnis Universitas Sebelas Maret (UNS), Prof Yudho Taruno Muryanto menjelaskan, hak cipta diatur dalam UU nomor 28 tahun 2014.
Kemudian, ketentuan mengenai "hak terkait" diatur dalam pasal 20 UU tersebut, sebagai penjabaran dari pasal 3 huruf B.
Dia menambahkan, pasal 24 mengatur mengenai penggunaan produk hak terkait secara komersial untuk keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar.
"Artinya begini, dalam undang-undang hak cipta pasal 24 itu kan termasuk produser fonogram. fonogram itu termasuk hak-hak terkait lainnya," papar Yudho saat dihubungi Kompas.com, Selasa (5/8/2025).
Dia menjelaskan, yang termasuk fonogram yaitu rekaman-rekaman yang dibuat oleh seseorang, termasuk kicauan burung dan gemericik air.
Yudho pun melanjutkan, produser fonogram tersebut memiliki hak ekonomi layaknya para musisi terhadap produk rekamannya.
Dengan begitu, dia memiliki hak untuk memberi izin atau melarang pihak lain untuk melakukan penggandaan dan pendistribusian produknya, yaitu dengan memperdengarkannya.
Baca juga: Pengusaha Kafe dan Restoran Tercekik Biaya Royalti Musik, Ini Dampaknya
"Hak cipta dan hak terkait, salah satunya hak fonogram, hak ekonomi fonogram itu dipertegas di PP No 56 Tahun 2021 tentang pengelolaan royalti hak cipta lagu, musik, atau hak terkait lainnya," ujar Yudho.
Dia menjelaskan, dalam PP pasal 3 diungkapkan bahwa setiap orang yang menggunakan musik atau lagu dalam layanan publik yang bersifat komersial perlu membayarkan royalti kepada penciptanya.