KOMPAS.com - Pemerintah Indonesia berencana menarik utang baru sebesar Rp 781,9 triliun pada 2026.
Nilai ini tercatat sebagai yang tertinggi sejak 2022, sebagaimana tertuang dalam Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN Tahun Anggaran 2026.
Sebagaimana diberitakan Kompas.com, Senin (18/8/2025), pembiayaan utang sempat melonjak hingga Rp 870,5 triliun pada 2021 saat pandemi Covid-19 masih berlangsung.
Angka tersebut kemudian turun menjadi Rp 696 triliun pada 2022 dan Rp 404 triliun pada 2023, sebelum kembali meningkat hingga proyeksi 2026.
Kenaikan utang pemerintah tahun depan diperkirakan mencapai 9,28 persen dibandingkan outlook 2025 yang sebesar Rp 715,5 triliun.
Baca juga: Daftar Kementerian dan Lembaga Negara dengan APBN 2025 Terbesar dan Terkecil
“Pada tahun 2021, rasio utang sempat mencapai 40,7 persen sebagai dampak program pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19, namun kembali turun di bawah 40 persen pada akhir tahun 2024 yang mencapai sebesar 39,8 persen,” demikian tertulis dalam Nota Keuangan RAPBN 2026.
Mayoritas pembiayaan utang 2026 akan berasal dari penerbitan surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 749,2 triliun. Angka ini naik 28,05 persen dibandingkan outlook 2025 yang dipatok Rp 585,1 triliun.
Langkah pemerintah Indonesia kembali menambah utang baru senilai Rp 781,9 triliun ini memicu diskusi publik soal kesehatan fiskal negara.
Lantas, bagaimana tanggapan ekonom terkait hal ini?
Baca juga: Biaya Retret Kabinet Merah Putih di Akmil Magelang Bukan dari APBN, tapi Pakai Uang Prabowo
Ekonom Universitas Diponegoro (Undip), Wahyu Widodo, menjelaskan bahwa penarikan utang sebenarnya berangkat dari mekanisme dasar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Jika dilihat dari struktur anggaran, prinsip dasarnya sederhana, negara berutang karena APBN defisit. Defisit muncul karena belanja lebih ekspansif untuk mempercepat pembangunan ekonomi dan mengejar target,” kata Wahyu kepada Kompas.com, Senin (18/8/2025).
Menurutnya, aturan internasional memberikan ruang fiskal bagi pemerintah.
Selama defisit tidak melebihi tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), posisi fiskal dianggap aman.
“Ruang ini dikelola pemerintah agar APBN tetap bisa ekspansif untuk akselerasi pembangunan. Formula ini dipakai hampir semua negara di dunia,” ujarnya menambahkan.
Baca juga: Transisi Energi Terbarukan, Kurangi Beban APBN, Tarik Minat Investor Negara Maju