Selain itu, Jamal juga menekankan pentingnya menghindari penayangan wajah anak secara detail, terutama jika anak sedang terluka atau terlibat dalam peristiwa yang memalukan.
Menurutnya, hal ini bukan sekadar persoalan norma, tetapi juga upaya melindungi anak dari bahaya dunia digital yang tidak memiliki batasan.
Jika tidak memungkinkan menggunakan foto anak, bisa dengan gambar atau ilustrasi yang relevan.
Sementara itu, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Fajar Junaedi menegaskan, dalam proses peliputan, jurnalis harus tetap mengikuti kaidah etika.
Baca juga: Kisah Jurnalis Disway Tersiram Air Keras Saat Meliput Aksi Demo 29 Agustus 2025
Pertama, menjaga identitas anak yang dapat dilakukan dengan teknik penyamaran, seperti blur, siluet, atau pengambilan gambar dari belakang, agar wajah tidak terlihat jelas dalam foto maupun video.
"Wartawan juga sebaiknya tidak menyertakan informasi yang dapat mengidentifikasi anak, misalnya nama lengkap, alamat rumah, atau data pribadi lainnya," kata Fajar kepada Kompas.com, Kamis (4/9/2025).
Kedua, mengedepankan moralitas dalam peliputan, sebagaimana yang diamanatkan dalam kode etik jurnalistik.
Prinsip ini dapat diterapkan dengan menghindari penggunaan bahasa yang menyudutkan, menghakimi, atau stigmatisasi anak.
"Alih-alih menstigma anak, pemberitaan sebaiknya lebih berfokus pada kondisi kerusuhan, dampak yang ditimbulkan, serta konteks peristiwa yang terjadi," jelasnya.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini