KOMPAS.com - Media sosial memiliki pengaruh dalam membentuk opini publik. Kemudahan akses internet di era saat ini membuat informasi dapat menyebar sangat cepat.
Hal ini mendorong banyak orang berlomba-lomba membagikan berbagai konten melalui platform media sosial (medsos).
Di tengah derasnya arus informasi, praktik jurnalistik tetap menuntut adanya penerapan etika.
Salah satunya, kewajiban untuk melakukan penyensoran ketika menayangkan foto maupun video yang mengandung unsur kekerasan, peristiwa memalukan, atau konten sensitif lainnya.
Namun, pada kenyataannya, konten semacam itu sering kali sudah lebih dulu beredar luas dan ditonton banyak pengguna media sosial.
Baca juga: Kisah 5 Jurnalis yang Tewas akibat Serangan Israel ke Nasser Hospital di Gaza
Mantan Jurnalis RCTI, Jamalul Insan menegaskan, seorang wartawan tetap harus berpegang pada kode etik.
Menurutnya, kewajiban etik tidak hilang meskipun informasi atau visual yang dianggap tidak layak sudah tersebar di media sosial.
"Meskipun visualnya orang-orang sudah pada tau, di medsos juga sudah banyak, maka tidak gugur kewajiban etik kita. Artinya kita tetap harus menjaga itu," ujarnya, saat menjadi mentor dalam salah satu sesi Journalism Fellowship on Corporate Social Responsibility (CSR) 2025 Batch 2, Kamis (4/9/2025).
Baca juga: Polisi Amankan Ribuan Anak Saat Demo, KPAI Ingatkan Bahaya Medsos
Lebih lanjut, Jamal mengungkapkan, jurnalis perlu kreatif dalam menyajikan konten tanpa melanggar etika.
"Kalau semisal visual itu dirasa tidak perlu-perlu banget, misal kebanyakan blur jadi jelek, udah diganti aja. Kalau perlu dibikin animasi saja, itu bisa lebih menarik," kata Jamal.
Ia juga menekankan, kode etik merupakan pembeda antara jurnalis dengan pengguna media sosial.
Baca juga: Peran Jurnalis dalam Pemberitaan CSR yang Berdampak
Menurutnya, masyarakat saat ini hidup di era ketika siapa pun bisa merasa sebagai reporter sekaligus produsen konten.
Artinya, segala sesuatu yang dilihat dapat langsung dilaporkan melalui media sosial yang kini semakin sering digunakan.
"Di medsos sudah ada kok, ngapain kita pakai blur. Di situlah kita menjadi pembeda, bahwa kita memang beda. Kita itu profesi yang punya etik yang harus dijaga. Enggak ada pilihan lain, ketika itu tidak kita lakukan, maka kita enggak ada bedanya dengan uploder-uploder lain," ujarnya.
"Kalau kita mau jadi pembeda, ya bedanya di situ, bahwa kita memegang kewajiban etik," tambahnya.
Baca juga: Pemberitaan Ramah Anak, Apa Saja Batasan yang Harus Dijaga?