KOMPAS.com - Setiap orang memiliki kondisi keuangan yang berbeda, termasuk generasi muda yang baru merintis karier dan kehidupan mandiri.
Ketika situasi finansial terasa berat, ada yang memilih menunggu kondisi membaik, sementara sebagian lainnya terpaksa mengambil pinjaman untuk memenuhi kebutuhan mendesak.
Keputusan berutang memang sering menjadi dilema. Di satu sisi bisa menjadi penolong, tetapi di sisi lain berisiko jika tidak dikelola dengan bijak.
Karena itu, membedakan kebutuhan mendesak dan sekadar keinginan menjadi kunci agar utang benar-benar bermanfaat, bukan justru menjerat.
Baca juga: Ramai Diperbincangkan, Perlukah Mengambil Utang di Bank untuk Pesta Pernikahan?
Lalu, apa pandangan perencana keuangan atas pertanyaan pada situasi seperti apa sebaiknya anak muda bisa mengambil pinjaman?
Perencana keuangan dari Finansia Consulting, Eko Endarto, menjelaskan bahwa ada kondisi tertentu yang membuat anak muda boleh mengambil pinjaman.
“Kondisi yang tepat untuk ambil utang adalah saat persentase cicilan pinjaman tidak melebihi 30 persen dari penghasilan,” ujar Eko saat dihubungi Kompas.com, Minggu (28/9/2025).
Selain itu, pinjaman sebaiknya digunakan untuk hal produktif, bukan konsumtif.
Contoh utang produktif:
Sementara untuk kebutuhan konsumtif, utang hanya bisa dipertimbangkan jika sifatnya sangat penting dan mendesak, misalnya:
Baca juga: Kisah SBY Lunasi Utang IMF 4 Tahun Lebih Cepat, Tak Ingin Rakyat Indonesia Tersandera
Sementara itu, Perencana keuangan dari Advisors Alliance Group, Andy Nugroho, menerangkan utang produktif adalah pinjaman yang dapat menjadi sumber penghasilan.
Sebaliknya, utang konsumtif justru menambah beban karena tidak menghasilkan keuntungan finansial.
Ia mengingatkan, rasio utang sehat adalah maksimal 30 persen dari penghasilan bulanan. Jika melebihi angka itu, kondisi keuangan dianggap tidak sehat.
Jika sudah terlanjur berutang, Andy menyarankan agar anak muda menata prioritas pengeluaran.
Pos yang harus diprioritaskan: