
MARAKNYA influencer di media sosial kini merupakan bagian penting dari kehidupan digital masyarakat. Mereka bukan hanya pembuat konten, tetapi juga pengarah opini publik dan gaya hidup.
Namun, kehadiran mereka sering memunculkan permasalahan seperti penyebaran informasi keliru dan promosi menyesatkan.
Di China, pemerintah telah bertindak tegas untuk mengatasi hal ini. Mulai 25 Oktober 2025, Cyberspace Administration of China (CAC) menerapkan aturan baru yang mewajibkan influencer memiliki gelar sarjana atau sertifikat resmi untuk membahas topik profesional seperti hukum, kedokteran, keuangan, dan pendidikan (Livemint, China Tightens the Screws: Influencers Now Need Degrees, 2025).
Apakah kebijakan serupa perlu juga diterapkan di Indonesia?
Indonesia memiliki industri influencer yang tumbuh sangat cepat dan berpengaruh. Survei YouGov bersama Vero (2023) menunjukkan 94 persen masyarakat Indonesia terpengaruh oleh konten influencer, dan 63 persen mengikuti mereka untuk mencari pengetahuan baru (Vero ASEAN, The Impact of Indonesian Influencers, 2023).
Namun, di sisi lain, banyak influencer yang berbicara soal pendidikan, ekonomi, kesehatan, hukum, bahkan keuangan tanpa dasar akademik yang kuat. Akibatnya, publik mudah menerima informasi tanpa verifikasi.
Dalam beberapa kasus, masyarakat justru mengikuti saran yang salah. Hal ini berisiko pada keselamatan dan finansial. Adanya kesenjangan antara popularitas dan kompetensi ini tentu menjadi masalah.
Baca juga: Selebritis Pengetahuan dan Matinya Kepakaran
Persoalan utamanya bukan pada kreativitas influencer, melainkan pada akurasi informasi yang disebarkan.
Platform media sosial seperti TikTok dan Instagram memungkinkan siapa pun berbagi pandangan tentang topik apa pun. Namun, tidak semua memiliki keahlian di bidang yang dibahas.
Penelitian Mahy, Winarnita, dan Herriman (Influencing the Influencers: Regulating the Morality of Online Conduct in Indonesia, 2022) menjelaskan bahwa di Indonesia, regulasi terhadap influencer lebih bersifat moral daripada profesional.
Artinya, masyarakat menilai perilaku influencer secara etis, bukan secara keilmuan. Akibatnya, banyak konten edukatif yang viral, tetapi keliru, baik dari segi fakta maupun esensinya.
Ada beberapa hal yang mendorong fenomena ini. Pertama, ekonomi digital tumbuh begitu cepat sehingga banyak orang tergoda menjadi influencer tanpa mempersiapkan diri secara akademik.
Kedua, sistem monetisasi media sosial mendorong konten yang sensasional karena lebih mudah menarik perhatian.
Ketiga, belum ada kebijakan nasional yang mengatur kompetensi pembuat konten. Akibatnya, muncul influencer yang populer karena gaya bicara menarik atau penampilannya, bukan karena keahliannya.
Padahal, temuan University of Portsmouth (The Psychological Risks of Influencer Culture, 2024) menyatakan sebagian besar konten influencer dapat menimbulkan risiko kesehatan mental dan sosial jika tidak diawasi secara ketat.