Prosesi Kondur Gangsa yang dilakukan oleh Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, berlangsung pada Kamis (4/9/2024) malam.
Tradisi sakral ini hanya diadakan delapan tahun sekali, sesuai dengan penanggalan Jawa.
Sri Sultan, yang juga menjabat sebagai Gubernur DIY, tampil sederhana mengenakan baju takwa biru bermotif bunga.
Dalam prosesi tersebut, ia didampingi GKR Mangkubumi, GKR Bendara, para menantu, serta perwakilan Kadipaten Pakualaman.
Sri Sultan memulai prosesi dengan membagikan udhik-udhik yang berisi bunga, uang koin, dan biji-bijian.
Warga tampak antusias berebut udhik-udhik yang diyakini membawa berkah dan keberuntungan.
Setelah pembagian udhik-udhik, Sri Sultan memasuki serambi Masjid Gedhe untuk mengikuti pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW yang dipimpin Kiai Penghulu Keraton.
Suasana di dalam masjid berlangsung hening dan penuh kekhusyukan, diiringi lantunan kisah kehidupan Nabi dalam bahasa Jawa.
Momen sakral terjadi ketika Sri Sultan melangkahkan kaki di atas tumpukan bata yang disusun di sisi selatan Masjid Gedhe, menandai pelaksanaan prosesi Jejak Banon atau Jejak Beteng.
Tradisi ini memiliki makna mendalam dan diwariskan turun-temurun, melambangkan keberanian dalam menghadapi perubahan hidup berdasarkan ajaran Islam.
Koordinator Rangkaian Prosesi Garebeg Mulud Dal 1959, KRT Kusumonegoro, menjelaskan bahwa Jejak Banon bukan sekadar ritual simbolis.
“Prosesi ini melambangkan lahirnya tatanan baru dalam masyarakat Jawa ketika menerima ajaran Islam. Jejak Banon juga menjadi simbol spiritual tentang keberanian menghadapi perubahan tanpa meninggalkan akar budaya,” ungkapnya.
KRT Kusumonegoro menuturkan bahwa langkah Sri Sultan di atas Banon merepresentasikan langkah para leluhur yang mengambil keputusan besar dalam kehidupan bermasyarakat.
“Tradisi ini digelar pada Garebeg Mulud Tahun Dal karena dipercaya bahwa Nabi Muhammad SAW lahir pada Tahun Dal. Itulah sebabnya prosesi ini hanya dapat disaksikan delapan tahun sekali,” ujarnya.
Ia juga menekankan bahwa Jejak Banon menjadi pengingat akan sejarah panjang dakwah Islam di Tanah Jawa yang dilakukan dengan cara damai dan bijaksana.
“Masyarakat Yogyakarta patut bersyukur masih bisa menyaksikan tradisi langka yang sarat nilai spiritual sekaligus nilai sejarah,” tambahnya.
Setelah prosesi Jejak Banon, gamelan Sekati Kanjeng Kiai Gunturmadu dan Kiai Nagawilaga yang ditabuh di Pagongan Kompleks Masjid Gedhe kemudian dikembalikan ke Keraton melalui prosesi Kondur Gangsa.
Prosesi ini menandai berakhirnya perayaan Sekaten dan menjadi pengantar menuju puncak Garebeg Mulud Tahun Dal pada Jumat (5/9).
Sekaten sendiri telah berlangsung sejak masa Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa, sebagai media dakwah para wali.
Melalui lantunan gamelan, masyarakat diajak mendekat ke masjid untuk mendengarkan syiar Islam.
Hingga kini, tradisi tersebut tetap hidup dan dijaga sebagai warisan budaya sekaligus spiritual oleh Keraton Yogyakarta.
“Setiap detail prosesi Sekaten mengandung makna mendalam. Jejak Banon mengajarkan kita untuk berani melangkah, menapak masa lalu sekaligus menatap masa depan dengan keyakinan."
"Inilah warisan luhur yang terus dijaga agar generasi mendatang memahami nilai budaya serta spiritualitasnya,” pungkas KRT Kusumonegoro.
https://yogyakarta.kompas.com/read/2025/09/05/153254678/jejak-banon-prosesi-sekaten-8-tahun-sekali