PERNYATAAN Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia pada 4 Juni 2025, kembali memantik perdebatan publik yang luas.
Menanggapi keluhan masyarakat, khususnya generasi muda, mengenai sulitnya mendapatkan pekerjaan, Menteri Bahlil mengajak publik untuk tidak terburu-buru menyalahkan kondisi ekonomi.
Bahlil minta publik melakukan introspeksi dan meningkatkan kualitas diri, seraya menekankan agar tidak "kufur nikmat" terhadap peluang kerja yang diklaimnya tersedia.
Pernyataan ini sontak menjadi sorotan tajam, terutama karena dilontarkan di tengah meningkatnya keprihatinan atas kesulitan mencari kerja, maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor, dan fenomena membludaknya peserta dalam setiap bursa kerja.
Analisis terhadap pernyataan kontroversial ini menjadi krusial, bukan hanya karena bobot politis seorang menteri yang berpotensi memengaruhi persepsi publik dan arah kebijakan, tetapi juga karena isu ketenagakerjaan merupakan barometer vital kesehatan ekonomi dan stabilitas sosial.
Baca juga: Penurunan Tingkat Pengangguran dan Lonjakan Sektor Informal
Kesulitan memperoleh pekerjaan berdampak luas pada kesejahteraan dan dapat memicu ketegangan sosial.
Lebih jauh, penggunaan terminologi agama seperti "kufur nikmat" dalam diskusi kebijakan publik memicu perdebatan etis mengenai batas retorika pejabat dan sensitivitas terhadap kondisi riil masyarakat.
Narasi ini pun ditengarai bukan respons spontan, melainkan bagian dari strategi pemerintah mengelola ekspektasi publik di tengah tantangan ekonomi.
Tujuannya menanamkan optimisme, mengalihkan fokus dari keterbatasan struktural ke tanggung jawab individu, dan membingkai kritik sebagai ketidakbersyukuran.
Menteri Bahlil tidak hanya merespons dengan ajakan introspeksi, tetapi juga menyajikan klaim optimistis mengenai potensi penciptaan sekitar 6,2 juta lapangan kerja baru di sektor ESDM hingga 2030.
Peluang ini, menurut dia, akan didorong oleh program peningkatan kebutuhan tenaga kerja di bidang pembangkitan listrik, hilirisasi mineral dan batu bara, serta pengembangan ekosistem kendaraan listrik.
Namun, proyeksi ambisius ini mengundang analisis kritis. Menteri Bahlil mengakui bahwa pemanfaatan peluang ini bergantung pada ketersediaan SDM Indonesia yang kompeten dan adaptif, sembari menyoroti perlunya penyesuaian kurikulum perguruan tinggi.
Tantangan utamanya adalah sifat jangka panjang proyeksi tersebut (hingga 2030), sementara kebutuhan masyarakat akan pekerjaan bersifat mendesak saat ini.
Jika kita sandingkan dengan data ketenagakerjaan nasional, gambaran yang muncul lebih kompleks.
Baca juga: Anggaran Konsumsi Rapat Menteri Vs Orang Miskin
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Februari 2025 sebesar 4,76 persen, sedikit menurun dari Februari 2024 (4,82 persen).