JAKARTA, KOMPAS.com – Harga Bitcoin mengalami koreksi setelah sempat mencetak rekor tertinggi sepanjang masa tiga hari berturut-turut. Koreksi ini terjadi di tengah kekhawatiran pasar terhadap inflasi Amerika Serikat yang kembali menunjukkan tren kenaikan.
Pada Senin (14/7/2025), Bitcoin sempat menyentuh level tertinggi baru di 122.800 dollar AS atau sekitar Rp 2,02 miliar. Kenaikan ini melanjutkan rekor sebelumnya di 119.300 dollar AS (Rp 1,97 miliar) pada 13 Juli dan 118.500 dollar AS (Rp 1,95 miliar) pada 11 Juli. Namun pada Rabu (16/7/2025), harga Bitcoin terkoreksi ke level 117.000 dollar AS atau sekitar Rp 1,93 miliar.
Menurut Analis Reku, Fahmi Almuttaqin, koreksi ini dipengaruhi oleh rilis data inflasi konsumen (CPI) Amerika Serikat yang lebih tinggi dari ekspektasi, serta aksi ambil untung (profit taking) oleh investor.
“Data CPI AS bulan Juni menunjukkan kenaikan sebesar 0,3 persen secara bulanan dan 2,7 persen secara tahunan, tertinggi sejak Januari,” kata Fahmi dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (16/7/2025).
Baca juga: Harga Bitcoin Sempat All-Time High, Ini Sebabnya
Ia menjelaskan, lonjakan harga tersebut didorong oleh naiknya harga barang impor seperti elektronik, pakaian, dan perabot rumah tangga yang terdampak kebijakan tarif baru AS terhadap produk dari Uni Eropa dan Meksiko.
Fahmi menambahkan, kenaikan inflasi ini bisa menjadi alasan bagi Federal Reserve (The Fed) untuk menahan suku bunga acuan di kisaran 4,25–4,50 persen hingga paling cepat September.
Meski Bitcoin terkoreksi, beberapa altcoin justru mencatatkan kenaikan signifikan. Aset kripto seperti PENGU, XLM, CRV, dan ALGO mengalami lonjakan harga lebih dari 50 persen dalam sepekan. Bahkan, CRV mencatat kenaikan lebih dari 10 persen hanya dalam 24 jam terakhir.
“Ini bisa jadi indikasi rotasi modal dari Bitcoin ke altcoin berkapitalisasi menengah. Jika tren ini bertahan, altcoin lain bisa ikut terdorong, meski prospek pelonggaran suku bunga The Fed tetap jadi kunci,” jelas Fahmi.
Ia juga menyoroti potensi tekanan politik terhadap The Fed dari mantan Presiden Donald Trump yang berulang kali menyerukan penurunan suku bunga ke level 1 persen atau bahkan mendesak Jerome Powell mundur dari jabatannya.
Baca juga: Daftar Lengkap Pemilik Bitcoin Terbanyak di Dunia
Fahmi menyebutkan, banyak investor masih memilih bersikap “wait and see” menanti sinyal penurunan suku bunga untuk masuk lebih agresif ke altcoin. Jika ada sinyal positif, dana investasi diperkirakan akan mengalir lebih deras, terutama ke altcoin yang memiliki likuiditas kuat.
Namun, ia mengingatkan bahwa rotasi modal ke altcoin juga membawa risiko volatilitas yang tinggi.
“Investor harus disiplin dan siap memanfaatkan momentum, tapi tetap waspada terhadap potensi pembalikan arah harga. Ketidakpastian global bisa sewaktu-waktu menarik kembali dana ke Bitcoin,” ujarnya.
Meski begitu, Fahmi menilai Bitcoin tetap menjadi pilihan utama investor institusional. Kenaikan harga yang menembus 120.000 dollar AS disebutnya berhasil mematahkan keraguan bahwa level 116.000 dollar AS terlalu tinggi.
“Jika pelonggaran ekonomi AS semakin nyata, dana besar masih bisa masuk ke pasar kripto. Ini akan memperkuat legitimasi Bitcoin sebagai instrumen lindung nilai, khususnya untuk korporasi,” lanjut Fahmi.
Baca juga: Bitcoin (BTC) Pecah Rekor Baru, Harga Makin Dekati Rp 2 Miliar Per Keping