Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mendikdasmen: Tak Bijak Gunakan AI Berpotensi Buat Manusia Jadi Culas

Kompas.com - 14/06/2025, 13:48 WIB
Sania Mashabi,
Ayunda Pininta Kasih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti menilai kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) harus digunakan secara bijak, jika tidak, AI bukannya membuat manusia semakin pintar tetapi semakin culas.

Hal ini diungkapkan Mu'ti dalam Upacara Dies Natalis ke-60 Universitas Negeri Semarang (Unnes) yang disiarkan secara daring pada Minggu (8/6/2025).

Mu'ti mengatakan hal itu didasari pada apa yang tertulis dalam buku berjudul World Without Mind dari Franklin Foer.

Baca juga: 4 Figur Publik Wanita Penerima Beasiswa LPDP, Terbaru Mutiara Baswedan

Mu'ti menuturkan, dalam buku tersebut Foer berpendapat bahwa penggunaan teknologi digital termasuk AI seringkali tidak membuat manusia menjadi arif dan bijaksana tetapi semakin culas.

"Dia (manusia) tidak semakin cerdas, tapi semakin culas," kata Mu'ti dikutip dari akun YouTube resmi Unnes, Kamis (12/6/2025).

Mu'ti menjelaskan, culas terjadi saat sebagian orang mulai menggunakan AI bukan semata untuk produktivitas atau solusi, tetapi demi satu hal, yaitu menjadi viral. Sehingga cenderung mengedepankan sensasi, memburu perhatian publik di media sosial, bahkan kadang dengan cara yang manipulatif atau dangkal.

Dalam konteks ini, lanjut dia, muncullah istilah "keculasan".

“Karena dalam teknologi AI orang menjadi viral, yang penting viral, penting narsis. Dan ada penyakit yang namanya Narsisme,” ungkapnya.

Dalam buku Foer, Mu'ti juga menyebutkan ada dua penyebab manusia tidak semakin cerdas dengan teknologi digital.

Baca juga: Ada Ujian Masuk Perguruan Tinggi, AI di China Dinonaktifkan Sementara

Penyebab pertama adalah adanya vitality virus atau virus viral di mana manusia hanya menggunakan media digital termasuk media sosial hanya untuk viral dan terkenal.

"Kadang-kadang orang yang penting viral, soal itu sesuai dengan moral atau tidak itu belakangan, yang penting viral dulu," ujarnya.

"Bahkan sekarang ada adagium (pepatah), yang menurut saya perlu kita kritisi, adagium itu berbunyi, no viral, no justice," lanjut dia.

Kemudian penyebab yang kedua adalah conformity atau kenyamanan di mana manusia hanya ingin ketenangan namun jika ada manusia lain yang berbeda pandangan langsung diserang.

Sehingga media sosial yang awalnya ditujukkan untuk membangun kerukunan sosial tetapi justru membuat sikap asosial.

"Sehingga kadang-kadang media sosial yang harapannya untuk membangun kerukunan sosial, yang terjadi adalah sikap asosial," pungkas Mu'ti.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau