Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hantu Apartheid Masih Membayangi Afrika Selatan Saat Kemarahan Terkait Kompensasi Meningkat

Kompas.com - 19/03/2025, 15:40 WIB
Egidius Patnistik

Editor

Sumber BBC

CAPE TOWN, KOMPAS.com - Malam sudah larut pada 10 Desember 1987 saat petugas penjara membangunkan Mzolisi Dyasi di selnya di Provinsi Eastern Cape, Afrika Selatan.

Dia masih mengingat perjalanannya dengan kendaraan yang berguncang-gucang karena pemukaan jalan yang tidak rata ketika menuju kamar mayat rumah sakit.

Di rumah sakit itu dia diminta untuk mengidentifikasi jenazah pacarnya yang sedang hamil, sepupunya, dan seorang pejuang anti-apartheid lainnya.

Baca juga: Sejak Apartheid Dihapuskan dari Afrika Selatan, Apa Yang Berubah?

BBC melaporkan, Dyasi merespons pemandangan di kamar mayat itu dengan berlutut satu kaki, mengepalkan tinjunya ke udara, dan mencoba berteriak "amandla!" ("kekuatan" dalam bahasa Zulu), sebagai bentuk perlawanan.

Namun, suaranya terhenti di tenggorokan, kata yang hendak diucapkannya tidak keluar dari mulutnya. Dia merasa "benar-benar terpukul," ujar Dyasi kepada BBC saat mengenang perisitiwa memilukan itu, saat melihat orang-orang yang dicintainya tewas.

Empat dekade berlalu, Dyasi masih tidur dengan lampu menyala demi mengusir kenangan buruk tentang penyiksaan fisik dan mental yang dia alami selama empat tahun di penjara.

Dia mengatakan kepada BBC bahwa dirinya berjuang keras untuk membangun kehidupan di masyarakat yang dulu dia perjuangkan sebagai anggota bawah tanah uMkhonto we Sizwe, kelompok sayap bersenjata Kongres Nasional Afrika (ANC) yang saat itu dilarang.

ANC memimpin perjuangan melawan sistem apartheid yang rasialis, yang berakhir pada 1994 saat partai tersebut berkuasa dalam pemilu multiras pertama di Afrika Selatan.

Dana kompensasi

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Truth and Reconciliation Commission/TRC), yang diketuai bersama oleh klerus terkenal, Uskup Agung Desmond Tutu, dibentuk untuk mengungkap kekejaman yang dilakukan rezim apartheid.

Pemerintah juga menggalang dana untuk memberikan kompensasi kepada individu atau kelompok yang mengalami ketidakadilan atau pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu (state reparations fund).

Namun, sebagian besar dana itu tidak dimanfaatkan secara maksimal, atau belum terpakai.

Dyasi termasuk satu di antara sekitar 17.000 orang yang menerima pembayaran satu kali sebesar 30.000 rand (Rp 27,3 juta) dari dana tersebut pada 2003. Namun, dia mengatakan bahwa dana tersebut tidak banyak membantu dirinya.

Dia ingin menyelesaikan pendidikan universitasnya, tetapi hingga kini masih belum melunasi biaya kuliah yang dia ambil pada 1997.

Kini, di usianya yang sudah lebih dari 60 tahun, dia menderita berbagai masalah kesehatan kronis dan merasa kesulitan membeli obat dengan uang pensiun yang diberikan kepada para veteran yang dulu ikut berjuang demi kebebasan dan demokrasi.

Profesor Tshepo Madlingozi, anggota Komisi Hak Asasi Manusia Afrika Selatan yang berbicara kepada BBC dalam kapasitas pribadinya, mengatakan bahwa apartheid masih meninggalkan dampak yang menghancurkan.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau