ELON Musk tidak lagi sekadar nama di balik mobil listrik, roket luar angkasa, dan ambisi kolonisasi Mars. Ia kini memasuki panggung politik Amerika Serikat dengan mendirikan partai politik sendiri: America Party.
Bagi sebagian orang, ini langkah nekat. Bagi yang lain, ini adalah bentuk frustrasi atas dua partai besar yang selama ini mendikte arah kebijakan negeri paman sam: Demokrat dan Republik.
Bagi Musk, ini mungkin sekadar konsekuensi logis dari peran barunya sebagai techno-demagogue yang tak hanya ingin membentuk masa depan teknologi, tapi juga masa depan demokrasi.
Lahir dari ruang disrupsi, Musk seperti ingin memperluas teritori pengaruhnya—dari laboratorium dan media sosial menuju parlemen.
Ia tidak mau lagi sekadar jadi penyokong dana kampanye atau pemberi suara di balik layar. Ia ingin duduk di meja kekuasaan. Dan kali ini, dengan mendirikan partai sendiri, ia tidak sekadar mengetuk pintu kekuasaan. Ia mencoba mendobraknya.
Partai politik di Amerika Serikat selama satu abad lebih berdiri di atas dua kutub besar: Demokrat dan Republik.
Sistem first-past-the-post yang diterapkan secara nasional membuat ruang bagi partai ketiga selalu sempit, bahkan nyaris mustahil. Kandidat dari pihak luar, meskipun populer, acap kali gagal merebut kursi karena sistem yang tidak akomodatif.
Baca juga: Gibran, Papua, dan Gimik Politik Murahan
Namun, kenyataan ini tidak menyurutkan niat Elon Musk. Melalui platform X, ia melempar survei yang direspons lebih dari satu juta pengguna. Hasilnya, lebih dari 65 persen mendukung pendirian partai baru.
Dukungan ini, meski berasal dari dunia digital yang tidak sepenuhnya representatif, mencerminkan kejenuhan terhadap lanskap politik saat ini.
Di tengah krisis kepercayaan publik, kemacetan legislasi, dan retorika populis yang makin keras, pendirian partai baru—sekalipun dari seorang Musk—mendapat resonansi.
Musk menyebut partainya sebagai representasi dari “kebebasan berbicara absolut,” konservatisme fiskal, dukungan pada mata uang kripto, dan perlindungan Amandemen Kedua (hak atas kepemilikan senjata).
Ini bukan partai liberal ala Demokrat, bukan pula konservatif klasik ala Republik. Ini adalah sintesis ideologi yang dibentuk oleh algoritma, bukan ideologi politik konvensional.
Fenomena Musk adalah tanda zaman. Ia bagian dari gelombang baru pemimpin non-politik yang percaya bahwa problem demokrasi bisa diselesaikan dengan efisiensi teknologi.
Pandangan ini mencerminkan arus techno-utopianism—keyakinan bahwa inovasi, bukan ideologi, adalah jawaban atas krisis tata kelola.
Bagi Musk, politik adalah sesuatu yang dapat dikalkulasi, diprogram, dan dipercepat, sebagaimana ia mempercepat industri mobil, antariksa, dan kecerdasan buatan.