TEL AVIV, KOMPAS.com – Keputusan Israel untuk mengambil alih Kota Gaza memicu gelombang ketakutan dan kemarahan di kalangan warganya.
Mereka khawatir langkah tersebut justru menjadi vonis mati bagi para sandera yang masih ditahan di wilayah itu.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Jumat (8/8/2025) mengumumkan rencana intensifikasi perang yang telah berlangsung 22 bulan dengan Hamas.
Baca juga: Saat di Inggris, JD Vance: AS Tidak Berencana Akui Negara Palestina
Targetnya adalah merebut kendali penuh atas Kota Gaza, yang sebagian besar sudah hancur akibat pemboman dan serangan darat sebelumnya.
Operasi darat skala besar diperkirakan akan memicu gelombang pengungsian baru dan memperburuk krisis kemanusiaan yang sudah parah.
Ruby Chen, warga negara ganda AS–Israel yang putranya, Itay, menjadi sandera di Gaza, menilai langkah itu membahayakan mereka yang masih ditawan.
“Apa rencana sekarang yang berbeda dari 22 bulan terakhir?” ujarnya kepada The Associated Press.
Nada serupa disampaikan mantan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert, yang juga dikenal sebagai kritikus keras Netanyahu.
Ia menilai tidak ada tujuan yang sepadan dengan pengorbanan nyawa sandera, tentara, maupun warga sipil. Kekhawatiran ini juga disuarakan oleh sejumlah mantan pejabat tinggi keamanan Israel.
Namun, Netanyahu bersikeras bahwa tekanan militer adalah kunci untuk mencapai tujuan perang, yakni memulangkan seluruh sandera dan menghancurkan Hamas.
Baca juga: Jejak Kaki Dinosaurus Berusia 115 Juta Tahun Muncul Usai Banjir Texas
Dalam wawancara dengan Fox News sehari sebelumnya, ia menyebut Israel pada akhirnya berniat menguasai seluruh Gaza dan menyerahkannya kepada pemerintahan sipil Arab yang bersahabat.
Saat ini, Israel mengeklaim telah menguasai sekitar 75 persen wilayah Jalur Gaza. Sebagian besar dari 2 juta penduduk Palestina kini bertahan di Kota Gaza, pusat Deir Al Balah, serta kamp pengungsian luas di Muwasi di sepanjang pantai.
Diketahui, kelompok bersenjata pimpinan Hamas menculik 251 orang dalam serangan 7 Oktober 2023 yang menewaskan sekitar 1.200 orang, mayoritas warga sipil di Israel.
Sebagian besar sandera dibebaskan melalui gencatan senjata atau kesepakatan pertukaran. Namun, 50 orang masih berada di Gaza dan, menurut otoritas Israel, kurang dari separuhnya diyakini masih hidup.
Keluarga para sandera Israel dan pendukung mereka telah berulang kali menggelar protes, menuntut Israel menghentikan perang dan mencapai kesepakatan gencatan senjata dengan Hamas. Upaya perundingan yang berlangsung lama itu gagal pada bulan lalu.