Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Suprianto Haseng
Karyawan Swasta

Penyuluh Antikorupsi Sertifikasi | edukasi dan advokasi antikorupsi. Berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya integritas dan transparansi di berbagai sektor

"Bayar Bayar Bayar": Suara yang Dibungkam, Masih Adakah Ruang Berekspresi?

Kompas.com - 21/02/2025, 13:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

…apalah artinya renda-renda kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan.”

PERNYATAAN ini merupakan penggalan sajak Sebatang Lisong karya WS Rendra, yang menggambarkan bahwa seni dan pegiat seni tidak dapat dipisahkan dari kegelisahan dan rasa peduli terhadap masyarakat.

Seni seharusnya menjadi cerminan realitas, merespons tantangan dan ketidakadilan di sekitar kita.

Sejarah dunia mencatat banyak momen di mana seni berfungsi sebagai alat protes dan penggerak perubahan.

Pegiat seni memantulkan kondisi kehidupan di sekitarnya, mengubahnya menjadi ekspresi kreatif yang mampu menggugah kesadaran dan semangat orang lain.

Dalam konteks ini, Grup Band Sukatani menjadi contoh nyata dari kekuatan seni sebagai medium kritik sosial.

Namun, muncul pertanyaan mendasar, masih adakah ruang untuk berekspresi di negeri yang katanya demokrasi ini?

Baca juga: Minta Maaf ke Polri, Band Sukatani Tarik Lagu “Bayar Bayar Bayar”

Di tengah dinamika sosial yang terus berkembang dan meningkatnya tindakan intimidasi terhadap seniman, hak untuk berekspresi menjadi terancam.

Kita pahami bahwa karya seni tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, ia mencerminkan realitas yang dihadapi masyarakat.

Melalui karya-karya mereka, seniman sering kali mencerminkan kegelisahan, harapan, dan perjuangan komunitasnya.

Namun, ketika suara-suara ini dibungkam melalui ancaman atau tekanan sosial, hak untuk berbicara menjadi terancam.

Contoh terbaru dapat dilihat pada kasus Grup Band Sukatani. Lagu mereka, "Bayar Bayar Bayar," yang viral sebagai kritik terhadap oknum polisi, berujung pada permintaan maaf yang seakan dipaksakan dan penarikan karya dari berbagai platform musik.

Tindakan ini menunjukkan kuatnya tekanan yang dihadapi seniman, mengurangi ruang bagi mereka untuk menyampaikan pandangan yang mungkin tidak sejalan dengan kepentingan tertentu.

Dengan lagu tersebut, Sukatani menyuarakan ketidakpuasan terhadap pelanggaran norma oleh oknum polisi. Melalui lirik yang tajam dan penuh makna, mereka mengekspresikan kegelisahan yang mendalam, mewakili suara masyarakat yang terpinggirkan.

Lagu ini bukan hanya sekadar hiburan, tetapi bentuk protes yang menggugah kesadaran dan mengajak pendengar untuk refleksi.

Baca juga: Lagu Bayar Bayar Bayar Band Sukatani Menghilang dari Spotify dkk

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau