KOMPAS.com - Sanae Takaichi resmi menjabat sebagai perdana menteri Jepang pada Selasa (22/10/2025).
Dengan jabatan barunya, ia menjadi perempuan pertama yang memimpin negara tersebut sejak berdirinya sistem pemerintahan modern Jepang.
Kemenangannya dinilai sebagai pencapaian bersejarah, namun juga menimbulkan perdebatan mengenai arah baru politik dan kesetaraan gender di negeri itu.
Langkah politik Sanae Takaichi datang di tengah penurunan kepercayaan publik terhadap Partai Demokrat Liberal (LDP) yang telah berkuasa selama puluhan tahun.
Baca juga: Jadi PM Wanita Pertama Jepang, Ini 8 Pernyataan Sanae Takaichi yang Tuai Pro Kontra
Ia naik ke jabatan tertinggi setelah partainya membentuk koalisi baru dengan kelompok sayap kanan Japan Innovation Party (Ishin).
Meskipun disambut sebagai simbol kemajuan perempuan, banyak kalangan menilai gaya kepemimpinannya tetap berakar kuat pada nilai-nilai konservatif.
Lantas, apa yang perlu diketahui dari naiknya Sanae Takaichi menjadi PM Jepang? Berikut 7 fakta mengenai kebijakan dan kehidupan personalnya.
Takaichi menorehkan sejarah dengan menjadi perempuan pertama yang menduduki jabatan perdana menteri.
Namun, kabinet yang dibentuknya justru menuai kritik karena tetap didominasi laki-laki. Ia hanya menunjuk dua perempuan dari 19 posisi menteri, jumlah yang sama dengan pendahulunya.
Dilansir dari Reuters, Rabu (22/10/2025), Profesor Tohko Tanaka dari Universitas Tokyo menyebut susunan tersebut "mengkhianati janji awal" Takaichi untuk meningkatkan representasi perempuan.
Menanggapi hal itu, Takaichi menyatakan bahwa dirinya "memprioritaskan kesempatan setara" dan menempatkan "orang yang tepat pada posisi yang tepat".
Baca juga: Siapakah Sanae Takaichi yang Akan Jadi PM Wanita Pertama Jepang?
Keterwakilan perempuan di politik Jepang masih sangat rendah. Saat ini, hanya 13 persen anggota parlemen LDP yang perempuan, dengan target peningkatan menjadi 30 persen pada 2033.
Menurut laporan World Economic Forum 2025, Jepang berada di peringkat 118 dari 148 negara dalam indeks kesetaraan gender. Angka ini terendah di antara negara-negara G7.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa terpilihnya Takaichi belum sepenuhnya mencerminkan perubahan nyata dalam struktur sosial Jepang.
Untuk mengamankan posisinya, Takaichi membentuk koalisi dengan Ishin, partai populis yang dikenal dengan kebijakan fiskal ketat dan pandangan sosial konservatif.