MENTERI Luar Negeri China, Wang Yi, sibuk beberapa hari terakhir. Dua konflik besar di dunia, yaitu perang di Gaza dan di Ukraina, menjadi pusat perhatiannya.
Pada awal pekan ini Wang mengumpulkan 14 faksi Palestina untuk melakukan pembicaraan rekonsiliasi di Beijing, termasuk dua faksi yang berseteru sengit yaitu Hamas dan Fatah. Pada Rabu (24/7/2024), dia bertemu Menteri Luar Negeri Ukraina, Dmytro Kuleba. Ini pertama kalinya China menjadi tuan rumah bagi pejabat tinggi Ukraina sejak invasi Rusia dua setengah tahun lalu.
Upaya diplomasi itu terjadi saat Beijing berupaya untuk menampilkan diri sebagai kekuatan geopolitik di dunia yang semakin terpecah akibat dua konflik tersebut.
Baca juga: Dipertemukan China, Bagaimana Hubungan Hamas dan Fatah di Palestina?
Dalam pertemuan dengan Kuleba, Wang mengatakan bahwa Beijing mendukung semua upaya yang berkontribusi pada perdamaian. China ingin memosisikan diri sebagai perantara perdamaian yang “netral” dalam konflik tersebut, walau di saat yang sama China meningkatkan hubungannya dengan Rusia.
Pada akhir pembicaraan dengan faksi-faksi Palestina sehari sebelumnya, Wang memuji penandatanganan sebuah deklarasi yang “mengakhiri perpecahan”. Wang mengatakan, deklarasi itu merupakan “momen bersejarah dalam perjuangan pembebasan Palestina.” Walau kesepakatan itu dipandang skeptis di Timur Tengah karena kesepakatan serupa sebelumnya gagal.
Sejumlah pakar mengatakan, bagi pemerintah China, diplomasi Wang menawarkan peluang untuk menampilkan sudut pandang yang diinginkan: membingkai China sebagai pemain produktif dalam konflik yang sulit diselesaikan – dan sebagai perantara alternatif selain Amerika Serikat (AS).
Menurut Steve Tsang, direktur SOAS China Institute di Universitas London, ambisi China adalah untuk “diakui dan diterima sebagai pemimpin global, dan China berupaya mencapai hal itu dengan mendapatkan dukungan dari negara-negara Selatan (Global South), yang jumlah penduduk dan negaranya lebih banyak dibandingkan negara-negara Barat yang demokratis.”
Namun, menurut sejumlah pakar, hal itu juga menandakan beberapa keterbatasan Beijing karena mereka berupaya membangun solusi di Gaza tanpa memiliki pengaruh besar di kawasan tersebut dan menyerukan perdamaian di Ukraina sambil menjaga hubungan erat dengan Rusia.
Kuleba adalah pejabat tinggi Ukraina pertama yang mengunjungi China setelah hampir 29 bulan perang Rusia melawan Ukraina. Sebaliknya, Presiden Rusia, Vladimir Putin, sudah dua kali berkunjung dan sejumlah pejabat Kremlin lain telah melakukan banyak perjalanan ke China dalam periode yang sama.