KYIV, KOMPAS.com – Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky melontarkan kekecewaan keras terhadap Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat, atas sikap diam mereka menyusul klaim Rusia yang berhasil merebut tiga desa di perbatasan.
Menurut Zelensky, keheningan komunitas internasional justru memberi angin bagi Presiden Rusia Vladimir Putin untuk melanjutkan agresinya.
Klaim terbaru Moskwa ini muncul setelah serangan masif yang terjadi pada Sabtu (24/5/2025) malam. Sedikitnya 367 drone dan rudal diluncurkan ke 30 kota serta desa di Ukraina, menewaskan setidaknya 12 warga sipil.
Baca juga: Rusia: Trump Emosi Berlebih Saat Sebut Putin Gila
Menanggapi eskalasi terbaru ini, Zelensky tak menutupi rasa frustrasinya terhadap kurangnya reaksi global.
“Diamnya AS dan negara-negara lain di dunia hanya mendorong Putin untuk terus menyerang,” kata Zelensky dalam pernyataan resminya, dikutip dari New York Post.
Ia juga menekankan bahwa setiap serangan semacam ini seharusnya menjadi alasan yang cukup untuk menjatuhkan sanksi baru terhadap Rusia.
Sebagaimana diberitakan New York Post, Minggu (25/5/2025), Kementerian Pertahanan Rusia mengumumkan bahwa pasukannya telah menguasai Desa Stupochky dan Otradne di wilayah Donetsk, serta Desa Loknya di wilayah Sumy, Ukraina bagian utara.
Moskwa menyebut kemajuan ini sebagai bukti bahwa pasukan mereka secara perlahan berhasil menembus pertahanan Ukraina yang kian tertekan.
Kendati demikian, pihak Ukraina membantah klaim Moskwa tersebut. Pemerintah di Kyiv menegaskan bahwa pasukan mereka masih solid bertahan di wilayah-wilayah itu.
Meski klaim kedua pihak belum dapat diverifikasi secara independen akibat sengitnya pertempuran, blog militer populer di Ukraina menyebut pasukan Rusia memang mulai membangun posisi di desa-desa perbatasan Sumy.
Kyiv menuduh Moskwa sengaja memanfaatkan momentum saat tekanan dari Barat terhadap Rusia dinilai mereda untuk merebut keuntungan wilayah sebanyak mungkin.
Baca juga: Ramai Video Macron Ditoyor Istri, Rusia Ikut Angkat Suara dan Bilang Begini
Sementara itu, sorotan tajam juga mengarah pada sikap Washington. AS tampak enggan mengikuti langkah Inggris yang pekan lalu menjatuhkan sanksi terhadap “armada bayangan” Rusia, sekitar 200 kapal tanker yang digunakan untuk menyelundupkan minyak Rusia ke seluruh dunia.
Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio menjelaskan bahwa pemerintahannya masih mendorong rancangan undang-undang untuk memberlakukan tarif sebesar 500 persen bagi pembeli minyak dan gas Rusia.
Namun, ia menegaskan bahwa langkah tersebut dapat dibatalkan jika Presiden Donald Trump menolaknya demi menjaga jalur dialog.
“Presiden percaya bahwa jika kita mulai menjatuhkan sanksi sekarang, Rusia akan berhenti berbicara. Masih ada nilai dalam menjaga jalur dialog terbuka agar mereka mau duduk di meja perundingan,” ujar Rubio dalam pernyataannya.
Sikap ini sejalan dengan pernyataan Presiden Trump sebelumnya, yang pernah berjanji akan mengakhiri perang pada “hari pertama” masa jabatan keduanya jika terpilih, tetapi kini justru menyiratkan kemungkinan untuk menarik diri dari upaya negosiasi.
Baca juga: Zelensky Kecam Diamnya AS dan Sekutu Saat Rusia Kuasai Wilayah Baru di Ukraina
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini