KOMPAS.com - Perubahan iklim memengaruhi kehidupan dalam setiap skala, dari gletser hingga serangga.
Tapi, di balik perubahan suhu dan cuaca yang sudah dikenal luas, ada perubahan lain yang sedang berlangsung dan tidak begitu terlihat.
Sebuah studi baru yang diterbitkan di jurnal National Science Review mengungkapkan bahwa meningkatnya kadar karbon dioksida (CO2) mengacaukan naluri reproduksi salah satu serangga, yaitu ngengat kapas (Helicoverpa armigera).
Dengan mengacaukan kemampuan serangga ini dalam memilih lokasi terbaik untuk bertelur, perubahan tersebut dapat menimbulkan dampak berantai di ekosistem, memengaruhi ketahanan pangan serta mengubah strategi pengelolaan hama.
Melansir Earth, Minggu (10/8/2025) bagi ngengat kapas (H. armigera), CO2 bukan sekadar gas di atmosfer, melainkan petunjuk penting.
Ngengat betina dapat mendeteksi perbedaan kecil pada CO2 yang dikeluarkan oleh tumbuhan. Mereka akan menuju ke daun-daun yang lebih muda karena daun tersebut memproduksi sedikit lebih banyak gas CO2.
Baca juga: Krisis Serangga, Ragam Faktor yang Dipicu Manusia Penyebabnya
Daun-daun muda ini cenderung menawarkan nutrisi yang lebih baik untuk larva yang sedang berkembang.
Namun sebuah penelitian mengungkapkan pada kondisi CO2 tinggi, ngengat betina kehilangan preferensi kuat mereka terhadap daun muda.
Sebaliknya, ngengat bertelur lebih banyak pada daun yang lebih tua. Lokasi yang kurang bergizi ini dapat membahayakan kesehatan larva.
"Tanpa sinyal CO2 yang akurat, serangga kesulitan menemukan lokasi bertelur yang ideal, yang dapat memengaruhi dinamika populasi hama dan kerusakan pertanian," terang Profesor Guirong Wang, dari Chinese Academy of Agricultural Sciences.
Menariknya, hilangnya reseptor tidak mengubah jumlah total telur yang diletakkan, melainkan hanya lokasi penempatannya. Mereka meletakkan telurnya secara lebih acak, mengabaikan daun-daun muda yang biasanya mereka jadikan target.
H. armigera sendiri merupakan salah satu hama pertanian paling merusak di dunia. Serangga ini memakan lebih dari 200 tanaman dan menyebabkan kerugian panen yang besar.
Baca juga: Populasi Serangga Hutan Tropis Turun Drastis, Apa Dampaknya?
Reproduksi yang lebih rendah memang akhirnya dapat mengurangi larva, akan tetapi di sisi lain hama dapat beradaptasi atau menyebar, sehingga hasilnya tidak pasti bagi petani.
Dalam skala yang lebih besar, perubahan perilaku bertelur ini dapat memengaruhi keseimbangan antara hama, predator mereka, dan penyerbuk.
Penelitian ini memperkuat bukti bahwa dampak perubahan iklim lebih dari sekadar memindahkan spesies atau mengubah musim kawin. Perubahan iklim bisa secara mendasar merusak bagaimana hewan memahami dan berinteraksi dengan lingkungannya.
Bagi serangga, yang kelangsungan hidupnya seringkali bergantung pada isyarat kimiawi, hal ini bisa sangat mengganggu.
Sementara bagi petani dan ahli ekologi, memahami perubahan sensorik ini akan menjadi kunci untuk mengantisipasi tekanan hama di masa mendatang.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya