KOMPAS.com - Para peneliti menemukan bahwa perusahaan cenderung menggunakan metrik dan proses pemantauan lingkungan internal yang berpihak pada pertumbuhan perusahaan mereka sendiri, dan tidak mempublikasikan data yang menunjukkan adanya peningkatan emisi karbon.
Penelitian terbaru dari Emlyon dan TBS Business Schools tersebut mengungkapkan bahwa perusahaan yang secara sukarela melaporkan emisi karbonnya lebih memilih menggunakan alat penghitungan karbon internal daripada model standar.
Hal ini dilakukan meskipun alat internal terkadang menghasilkan laporan yang tidak akurat.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa para manajer cenderung bergantung pada alat pelaporan internal, karena alat-alat ini cenderung menekankan pada emisi yang berhasil dikurangi alih-alih jumlah total polutan yang diproduksi. Hasilnya, kinerja keberlanjutan suatu perusahaan jadi tampak lebih baik.
Baca juga: KLH Awasi 5 Perusahaan, Diduga Buang Limbah yang Cemari Sungai Brantas
Melansir Sustainability News, Kamis (4/9/2025) studi kasus ini melibatkan 23 wawancara dan 28 hari observasi pada sebuah perusahaan yang secara sukarela melaporkan data karbonnya.
Studi itu menyimpulkan bahwa alat-alat internal digunakan secara strategis untuk membentuk cerita yang disampaikan perusahaan tentang dampak lingkungan mereka.
Tujuannya adalah untuk menyoroti kemajuan dengan cara yang juga mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Sayangnya, cara ini memungkinkan perusahaan menghindari pekerjaan sulit yang sebenarnya dibutuhkan untuk melaporkan dan mengurangi emisi karbon secara jujur.
Dengan mengalihkan fokus dari metrik emisi absolut, perusahaan mencegah adanya kemajuan lingkungan yang nyata, sementara operasional mereka berjalan seperti biasa.
Tidak mengherankan jika sejumlah karyawan merasa tidak nyaman dengan pendekatan ini, tetapi merasa tidak bisa menyuarakan kekhawatiran mereka.
Akibatnya, perusahaan terus menggunakan proses semacam itu dan tidak mengurangi emisi secara signifikan.
"Penelitian ini menyoroti kesenjangan krusial antara mengetahui tentang emisi dan bertindak untuk menguranginya. Para manajer mungkin menggunakan akuntansi karbon untuk membingkai ulang dampak alih-alih menghadapi kenyataan. Hal ini berisiko membuat laporan keberlanjutan menjadi pembenaran untuk menjalankan bisnis seperti biasa, tanpa ada upaya nyata untuk memangkas emisi," papar François-Régis Puyou, seorang peneliti sekaligus profesor akuntansi & keuangan perusahaan di Emlyon Business School.
Temuan ini membawa satu kesimpulan bahwa upaya nyata untuk mengatasi perubahan iklim bisa terhenti. Pasalnya, laporan keberlanjutan lebih memprioritaskan citra daripada dampak lingkungan yang sebenarnya.
Baca juga: Survei Deloitte: Hanya 38 Persen Karyawan Percaya Perusahaan Peduli Isu Lingkungan
Hal ini menimbulkan efek domino yang menyesatkan publik, klien, regulator, dan investor. Selain itu, kondisi ini juga memperlambat pergeseran menuju ekonomi rendah karbon.
Peneliti juga memperingatkan bahwa model karbon ini tidak sekadar menyesatkan, tetapi juga membuat orang mengabaikan urgensi pengurangan emisi karbon.
Mereka yakin bahwa model internal bisa jadi digunakan untuk memberikan alasan atau mengaburkan fakta bahwa jejak karbon suatu perusahaan sebenarnya terus meningkat.
Untuk mengatasi hal ini, para peneliti meminta regulator untuk memperkuat peraturan yang mengharuskan perusahaan melaporkan emisi absolut mereka yang sebenarnya dan rencana konkret untuk mengurangi emisi.
Para peneliti juga menyarankan perlunya studi lanjutan untuk membantu para manajer menghadapi kenyataan pahit terkait dampak lingkungan perusahaan mereka. Hanya dengan cara itulah perusahaan dapat benar-benar mendorong keberlanjutan dan mencapai pengurangan emisi karbon yang signifikan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya