JAKARTA, KOMPAS.com - 19 Agustus diperingati sebagai World Orangutan Day atau Hari Orangutan Sedunia untuk mendukung perlindungan dan pelestarian habitatnya. Namun, populasi satwa dilindungi ini kian mengkhawatirkan.
Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI) mencatat, orangutan tersebar di Sumatera dan Kalimantan, dengan perkiraan 50.000-55.000 individu di Kalimantan.
Sekitar 14.000 individu hidup di Sumatera, dan 800 individu di Tapanuli, spesies orangutan terbaru yang dideskripsikan pada 2017.
"Jumlah ini jauh menurun dibandingkan beberapa dekade lalu karena kehilangan habitat dan konflik dengan manusia," ungkap Direktur Operasional Program YIARI, Argitoe Ranting, saat dihubungi, Selasa (19/8/2025).
Baca juga: Harapan Orangutan di Tengah Ancaman Kepunahan: Sains, Politik, Publik
"Namun masih ada harapan yang positif dengan jumlah masyarakat, instansi pemerintah, private sektor dan organisasi lingkungan yang semakin peduli dengan orangutan," imbuh dia.
Argitoe menjelaskan, ancaman terbesar orangutan ialah hilangnya habitat akibat deforestasi, konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, pertambangan, infrastruktur, serta kebakaran hutan.
Selain itu, konflik dengan manusia meningkat ketika orangutan masuk ke kebun atau lahan pertanian. Sehingga hewan ini kerap ditangkap ataupun dilukai.
"Perburuan dan perdagangan masih terjadi, meskipun tidak semasif 10-20 tahun lalu. Biasanya perburuan terjadi karena orangutan dianggap hama di perkebunan, atau bayi orangutan diambil untuk diperdagangkan, yang hampir selalu berarti induknya dibunuh," tutur dia.
Ada pula kasus perdagangan orangutan dari Indonesia ke luar negeri. Argitoe menilai, hal itu menyebabkan populasi orangutan makin terancam.
Menurut dia, luas habitat yang terfragmentasi mengakibatkan populasi orangutan menjadi kecil dan terisolasi.
Baca juga: Selesai Rehabilitasi, 5 Orangutan Dilepasliarkan di Hutan Kalimantan Tengah
"Lalu, tekanan pembangunan ekonomi yang masih sangat tinggi, keterbatasan sumber daya dalam pemantauan dan perlindungan habitat, serta konflik kepentingan antara konservasi, masyarakat lokal, dan industri," ucap Argitoe.
Risiko perubahan iklim, khususnya kebakaran hutan, dan perubahan pola pakan alami orangutan turut menjadi permasalahan utama.
Argitoe menyatakan bahwa sejauh ini pusat penyelamatan dan rehabilitasi orangutan berhasil menyelamatkan ribuan individu, dan pelepasliaran ke habitat alaminya. Kawasan konservasi seperti Taman Nasional dan hutan lindung juga dijaga sebagai habitat orangutan.
"Kolaborasi multi pihak, pemerintah, NGO, masyarakat, swasta mulai lebih kuat, dan semakin banyak masyarakat menolak memelihara atau memperdagangkan satwa dilindungi," ujar dia.
Di sisi lain, dia menekankan konsistensi aparat penegak hukum terhadap pelaku perburuan dan perdagangan orangutan. Pemerintah pun diminta melindungi kawasan hutan dari alih fungsi lahan.
"Terakhir, keterlibatan private sektor dalam menjaga melindungi dan konservasi orangutan di mana masih banyak perusahaan yang mengancam habitat orangutan," sebut Argitoe.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya