JAKARTA, KOMPAS.com - Greenpeace Indonesia dan Greenpeace Malaysia menilai Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-27 ASEAN harus menjadi momen pertanggungjawaban negara untuk menghentikan kabut asap lintas batas akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Melalui ASEAN Haze Report 2025, organisasi non pemerintah ini mencatat setiap tahunnya kabut asap menghantui kawasan Asia Tenggara. Penyebabnya antara lain arah angin, cakupan, dan durasi kabut asap.
“Temuan utama Greenpeace menunjukkan tumpang tindih antara kebakaran sebagai sumber kabut asap dan area konsesi di Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) kritis di Sumatera dan Kalimantan di tahun 2015, 2019, dan 2023," kata peneliti senior Greenpeace Indonesia, Sapta Ananda, dalam keterangannya, Senin (27/10/2025).
Wilayah-wilayah itu memiliki lahan gambut yang sangat luas dan mudah terbakar jika kering. Kobaran api pun sulit dipadamkan.
Baca juga: BMKG: Kerugian Ekonomi akibat Karhutla Turun hingga Rp 68 T
"Kemudian, musim kemarau, El Nino, dan angin monsun memperparah situasi ini ke negara-negara tetangga,” imbuh dia.
Dalam laporannya, Greenpeace turut mengungkap perusahaan-perusahaan pencemar. Termasuk perusahaan asal Malaysia, yang disebut berhasil menghindari sanksi berat atau penangguhan izin meskipun namanya terkait dalam kasus kebakaran jutaan hektare lahan dan hutan gambut.
Sapta menyampaikan, sulitnya perjuangan masyarakat mencari keadilan memperkeruh situasi penegakan hukum yang masih lemah dari pemerintahan negara ASEAN.
Kendati mengadopsi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP), asap karhutla tetap menjadi krisis regional. Oleh karena itu, Greenpeace mendesak para pemimpin negara di ASEAN untuk mengakui hak atas udara bersih dan sehat sebagai hak asasi manusia yang fundamental.
Kedua, meminta pertanggungjawaban korporasi atas kabut asap lintas batas, deforestasi, dan kerusakan lingkungan serta pemulihan gambut yang rusak.
Baca juga: Titik Karhutla 2025 Terbanyak di Kalbar, Kontributor Terbesar dari Pembukaan Lahan Sawit
Terakhir, memastikan mekanisme pembiayaan pelindungan hutan jangka panjang seperti fasilitas hutan tropis selamanya, memberi jaminan pengakuan dan hak untuk mengelola gambut secara komunal tanpa ancaman kriminalisasi, serta mendukung masyarakat adat dan komunitas lokal.
"ASEAN harus memastikan bahwa hak atas lingkungan yang sehat bukan sekadar harapan, tetapi betul-betul dapat ditegakkan secara hukum agar tidak terus menerus melahirkan trauma berkepanjangan,” jelas Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Belgis Habiba.
KTT ke-47 ASEAN dan KTT terkait lainnya digelar pada 26-28 Oktober 2025. Selain pertemuan antar negara-negara anggota ASEAN, KTT kali ini juga menyelenggarakan pertemuan dengan para Amerika Serikat, China, Jepang, Korea, India, Australia, dan Selandia Baru.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya