Baginya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bukanlah hanya deretan angka di layar berita atau sekedar hitungan tanpa makna, melainkan terwujud langsung dari senyum anaknya yang bisa terus bersekolah berkat bantuan pemerintah melalui Program Indonesia Pintar (PIP).
APBN adalah jawaban kegundahan hati Ibu Yati saat membawa ibu tercintanya yang sudah renta dapat berobat gratis menggunakan kartu BPJS Kesehatan, yang iurannya dibayarkan oleh pemerintah untuk masyarakat miskin.
Di warung kecilnya, APBN juga menjadi penyambung kehidupan dalam bentuk tabung gas 3 kg yang harganya terjangkau, memungkinkannya tetap mencari nafkah dengan menjual gorengan.
Saat ia ingin mengembangkan usahanya, APBN menyapanya melalui pinjaman dengan bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang ringan.
Kisah ibu Yati bukan hanya satu-satunya. Ada jutaan Yati lain di seluruh penjuru Indonesia yang hidupnya disentuh langsung oleh 'uang rakyat', dari petani yang membeli pupuk bersubsidi hingga nelayan yang mengisi kapalnya dengan solar murah.
Seperti dalam pidato Presiden RI dalam rangka Penyampaian Keterangan Pemerintah RUU APBN 2026 di hadapan anggota DPR/MPR, kita harus senantiasa memupuk optimisme dan semangat gotong royong.
Memahami dan mengawal APBN adalah cara kita memastikan obor optimisme itu terus menyala. Ini adalah wujud kehadiran negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan hanya tertulis dalam naskah konstitusi, tetapi juga dalam realitas kehidupan sehari-hari.
Bagi sebagian besar masyarakat, mungkin APBN terdengar sebagai konsep yang rumit, jauh dan hanya menjadi urusan para pejabat di Jakarta.
Angka-angka triliunan rupiah yang dibahas di ruang rapat parlemen seolah tak bersentuhan langsung dengan denyut nadi kehidupan di warung kopi, pasar tradisional, atau ruang kelas di pelosok negeri.
Padahal sesungguhnya APBN merupakan manifestasi paling nyata dari kehadiran negara dalam kehidupan setiap warganya.
Ia adalah instrumen yang dirancang untuk menerjemahkan amanat konstitusi—melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa—menjadi tindakan nyata yang bisa kita rasakan setiap hari.
Secara teoretis, APBN adalah instrumen utama kebijakan fiskal yang memiliki tiga fungsi penting, yaitu: alokasi, distribusi, dan stabilisasi.
Fungsi alokasi tercermin saat pemerintah menggunakan anggaran untuk menyediakan barang dan jasa publik yang tidak dapat disediakan oleh pasar, seperti jalan raya, jembatan, sekolah negeri dan pertahanan.
Dalam keseharian, inilah jalan mulus yang kita lewati setiap hari atau rasa nyaman karena negara menjaga keamanan warganya.
Fungsi distribusi bertujuan mengurangi ketimpangan pendapatan. Secara praktik, ini adalah bantuan sosial yang diterima keluarga prasejahtera, beasiswa untuk anak berprestasi dari keluarga kurang mampu, dan subsidi yang memastikan harga kebutuhan pokok tetap terjangkau.
Terakhir, fungsi stabilisasi digunakan untuk menjaga perekonomian tetap sehat. Inilah yang kita rasakan ketika pemerintah menahan harga BBM di tengah gejolak harga minyak dunia, menjaga daya beli dan mencegah inflasi tak terkendali.
Melalui ketiga fungsi inilah, belanja negara menjadi sarana untuk mencapai tujuan bernegara: sebuah Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera.
Di tengah ketidakpastian ekonomi global, perekonomian domestik kita menunjukkan ketahanan yang kuat dengan pertumbuhan mencapai 5,12 persen pada Triwulan II 2025.
Salah satu pilar utamanya adalah APBN yang bekerja keras sebagai shock absorber atau peredam goncangan.
Ketika harga minyak dunia melonjak, negara hadir melalui APBN untuk menahan agar harga pertalite dan solar di SPBU tidak melambung tinggi. Subsidi energi ini adalah contoh bentuk keberpihakan negara kepada masyarakat tidak mampu.
Tanpa intervensi APBN, harga solar seharusnya bisa mencapai Rp 11.950 per liter, namun masyarakat membayarnya Rp 6.800. Selisih Rp 5.150 (43 persen) ditanggung oleh APBN.
Demikian pula dengan tabung LPG 3 kg, dari harga keekonomian Rp 42.750, masyarakat hanya membayar sekitar Rp 12.750, artinya negara menanggung 70 persen bebannya.
Hal yang sama berlaku untuk tarif listrik bagi 41,5 juta pelanggan dan subsidi pupuk yang menjaga agar biaya produksi pangan tidak melonjak tajam.
Kehadiran negara tidak berhenti di situ. Dari total anggaran Perlindungan Sosial sebesar Rp 503,2 triliun untuk tahun 2025, APBN menjadi jaring pengaman yang terbentang sepanjang siklus hidup manusia.
Melalui Program Keluarga Harapan (PKH) dengan realisasi semester I sebesar Rp 13,1 triliun, negara hadir untuk ibu hamil dan anak usia dini.
Melalui Program Indonesia Pintar (PIP) dengan realisasi Rp 6,6 triliun dan KIP Kuliah Rp 7,8 triliun, negara membuka pintu pendidikan bagi mereka yang kurang mampu.
Dan melalui Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Nasional (PBI JKN) yang realisasinya mencapai Rp 23,2 triliun, negara memastikan 96,8 juta jiwa rakyatnya tidak jatuh miskin saat menderita sakit.
Memasuki tahun 2026, peran vital APBN akan terus berlanjut dan semakin dipertajam. Sebagaimana ditekankan Presiden Prabowo Subianto dalam pidato Nota Keuangan, APBN 2026 dirancang untuk "Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan".
Ini bukan sekadar slogan, melainkan strategi untuk mentransformasi tantangan menjadi peluang demi mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.
APBN 2026 akan diarahkan untuk mendanai program-program prioritas. Di sisi pembangunan sumber daya manusia, program Makan Bergizi Gratis akan menjadi intervensi gizi krusial, didukung program pendidikan berkualitas seperti Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggul Garuda.
Ini adalah investasi jangka panjang untuk menghasilkan SDM unggul dan kompetitif.
Transformasi ekonomi juga menjadi fokus utama.
Anggaran akan mendorong hilirisasi industri untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya alam kita, serta mempercepat transisi menuju ekonomi hijau yang ramah lingkungan.
Di sektor papan, program pembangunan 3 juta rumah akan menyediakan hunian yang layak dan terjangkau.
Sementara itu, pemberdayaan ekonomi dari level akar rumput akan terus digalakkan melalui revitalisasi Koperasi Desa Merah Putih dan dukungan terhadap UMKM.
Tujuannya terukur: menekan tingkat kemiskinan ke level 6,5-7,5 persen dan tingkat pengangguran terbuka di kisaran 4,44-4,96 persen pada tahun 2026.
Karena APBN adalah uang rakyat, maka setiap rupiah yang dibelanjakan harus kembali sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Di sinilah letak urgensi pengawasan bersama. Anggaran negara yang begitu besar adalah amanah yang harus dijaga dengan integritas tertinggi. Tidak boleh ada satu rupiah pun yang diselewengkan.
Setiap praktik korupsi, mark-up, atau inefisiensi adalah pengkhianatan terhadap kepercayaan publik dan pencurian hak rakyat atas masa depan yang lebih baik.
Pemerintah memang terus berupaya menjaga kesehatan fiskal, dengan menargetkan defisit yang terkendali. Namun, pengawasan tidak bisa hanya menjadi tugas aparat penegak hukum atau lembaga audit.
Seluruh elemen bangsa—masyarakat sipil, media, akademisi, dan setiap individu—memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi mata dan telinga yang waspada.
Transparansi harus menjadi napas dalam setiap siklus anggaran, dari perencanaan hingga pertanggungjawaban, agar setiap program benar-benar tepat sasaran dan efisien.
https://money.kompas.com/read/2025/08/28/111531126/apbn-kehadiran-negara-dalam-keseharian-kita