BANDUNG, KOMPAS.com - Di tengah lonjakan harga bahan baku benang dan maraknya produk rajutan impor yang membanjiri pasar, UMKM perajin rajut asal Bandung tetap bertahan dengan semangat dan kreativitas.
Koordinator Kampung Rajut, Eka Rahmat Jaya sekaligus pemilik usaha rajutan Gallery Rajut alias Galleraj mengaku, mau tak mau harus rela memiliki keuntungan yang tipis agar usaha rajutan yang dirintis sejak 1970-an itu tetap bertahan.
Eka bilang, meski bahan baku yang dia beli adalah lokal, untuk harganya saja saat ini sudah melonjak tinggi dari tahun ke tahun.
Baca juga: Kisah Galleraj.id: UMKM Rajutan yang Berdayakan Kaum Difabel
Eka Rahmat Jaya, pemilik usaha rajut Gallery Rajut atau Galleraj.id.“Kasarannya untuk harga bahan baku itu dibandingkan dulu-dulu ada kali ya naik 50 persen,” ujarnya saat dikunjungi Kompas.com di rumah produksinya, Bandung, Senin (26/6/2025).
Padahal harga produk rajutan yang dijual Eka tergolong murah, mulai dari Rp 35.000 untuk sweeter.
Belum lagi saat ini banyak ditemukan produk rajutan impor yang dijual dengan harga miring di berbagai platform online.
Eka mengaku untuk tetap memiliki margin, ia bersama tim produksinya mau tak mau harus bisa memanfaatkan bahan baku yang sisa sebisa mungkin dengan membuat produk lain.
Baca juga: Cerita Sonny Rintis DSandals Store, Jualan di Shopee hingga Rambah Ekspor
Misalnya saja, benang atau sisa rajutan untuk sweater bisa dimanfaatkan untuk membuat gantungan kunci.
“Sisa-sisa bahan harus sekreatif mungkin kami olah, kami buat hiasan, kami buat tas-tas kecil sampai rajutan untuk hiasan dinding juga buat. Sebisa mungkin bahan sisa produksi tidak ada yang terbuang,” kata Eka.
Untuk tetap bertahan di tengah gempuran produk impor, Eka bersama pengusaha rajutan Bandung lainnya sepakat untuk mematok batas bawah penjualan produk rajutan. Hal itu agar tidak merusak harga produk di pasaran.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya