USULAN penambahan batas usia pensiun aparatur sipil negara (ASN), aparatur TNI-Polri selalu didalilkan pada statistik penambahan Angka Harapan Hidup menurut Badan Pusat Statistik (BPS) yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Hal itu berarti orang Indonesia semakin panjang umur hingga 73,93 tahun (BPS, 2023).
Selain itu, biasanya usulan penambahan batas usia pensiun didalilkan pada kemampuan keuangan negara atau anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk membayar gaji, tunjangan, dan fasilitas bagi ASN, aparatur TNI-Polri.
Namun, regulator seringkali melupakan dalil yang diharapkan publik, yaitu dalil keadilan.
Apakah penambahan usia pensiun telah memenuhi prinsip keadilan, baik keadilan ke dalam (internal aparatur) maupun keadilan ke luar (eksternal aparatur)?
Keadilan ke dalam harus mampu menjawab pertanyaan, apakah batas usia pensiun antarlevel jabatan dan antarrumpun (Sipil, Tentara, dan Polisi) telah berimbang?
Keadilan ke luar harus mampu menjawab pertanyaan, apakah batas usia pensiun aparatur, baik sipil, tentara, maupun polisi memenuhi rasa keadilan masyarakat (publik)?
Baca juga: Negeri yang Menolak Pensiun
Keadilan eksternal aparatur (ke luar) jauh lebih sulit dijawab oleh regulator (pemerintah dan DPR) di tengah kesulitan ekonomi yang dihadapi masyarakat, dan gaya hidup glamour pejabat, suatu kondisi kontras yang memunculkan kesenjangan dan menjadi bibit pertentangan (konflik) sosial.
Keadilan eksternal juga harus menjawab pertanyaan apakah batas usia pensiun aparatur (sipil, tentara, polisi) telah sepadan atau sesuai dengan batas usia pensiun karyawan di sektor swasta (dunia usaha atau korporasi)?
Usulan penambahan usia pensiun ASN yang mengemuka baru-baru ini, seperti yang diusulkan Korpri, berfokus hanya bagi pejabat pimpinan tinggi utama/madya dan pejabat fungsional utama, yang jumlahnya tidak banyak. Bagaikan puncak piramida, hanya berjumlah ratusan orang.
Hanya ratusan pejabat yang terdampak usulan penambahan pensiun. Jika dibandingkan dengan lebih dari empat juta ASN (sekitar 4,8 juta), baik ASN Pusat maupun ASN Daerah, sangat kecil rasionya.
Pejabat pimpinan tinggi utama/madya di kementerian/lembaga paling banyak 20-an orang setiap kementerian/lembaga.
Pejabat pimpinan tinggi madya di pemerintah daerah hanya sekretaris daerah provinsi, atau hanya 38 orang sesuai jumlah provinsi di Indonesia.
Pejabat fungsional utama hanya beberapa orang di setiap kementerian/lembaga. Demikian juga di pemerintah daerah hanya di pemerintah provinsi dan jumlahnya hanya beberapa orang.
ASN tersebar di kementerian/lembaga (termasuk TNI/Polri), yang kemudian disebut sebagai ASN Pusat, dan pemerintah daerah, yang kemudian disebut ASN Daerah.
Baca juga: Anggaran Konsumsi Rapat Menteri Vs Orang Miskin