Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dikdik Sadikin
Akuntan

Dikdik Sadikin adalah seorang auditor berpengalaman yang saat ini bertugas di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), berperan sebagai quality assurer dalam pengawasan kualitas dan aksesibilitas pendidikan di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Memiliki minat mendalam terhadap kebijakan publik, Dikdik fokus pada isu-isu transparansi, integritas, serta reformasi pendidikan dan tata kelola pemerintahan. Dikdik telah menulis sejak masa SMP (1977), dengan karya pertama yang dimuat di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan opini karyanya telah dipublikasikan di media massa, termasuk di tabloid Kontan dan Kompas. Dua artikel yang mencolok antara lain "Soekarno, Mahathir dan Megawati" (3 November 2003) serta "Jumlah Kursi Menteri dan Politik Imbalan" (9 Oktober 2024). Ia juga pernah menjabat sebagai pemimpin redaksi dan pemimpin umum majalah Warta Pengawasan selama periode 1999 hingga 2002, serta merupakan anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik dari Universitas Gadjah Mada (lulus 2006).

Antara Efisiensi Anggaran dan Tersendatnya Nafas Ekonomi

Kompas.com - 05/06/2025, 09:51 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PEREKONOMIAN seperti jam besar di stasiun tua, berdenyut bukan hanya karena detik yang berdetak, tapi oleh gerak roda-roda kecil yang terus bekerja di dalamnya.

Ada roda konsumsi rumah tangga (C), ada roda investasi (I), ada roda perdagangan internasional (X-M), dan ada satu roda besar bernama belanja pemerintah (G).

Rumus Keynesian yang kita pelajari sejak bangku kuliah: f(y) = C + I + G + (X – M), menjadi mantra klasik yang hingga kini masih menjadi dasar penghitungan pertumbuhan ekonomi.

Dan di Indonesia, roda "G" (government spending, atau belanja pemerintah) itu adalah napas utama yang menjaga jarum jam tetap bergerak.

Ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32 Tahun 2025 tentang Standar Biaya Masukan (SBM) Tahun Anggaran 2026 pada 14 Mei 2025 dan diundangkan pada 20 Mei 2025, ada harapan dan ada tanya.

Harapan bahwa anggaran negara akan lebih hemat, lebih efisien, lebih efektif. Ada juga tanya, apakah langkah ini sekadar upaya pemangkasan angka atau benar-benar upaya reformasi anggaran yang bijak?

Baca juga: Anggaran Konsumsi Rapat Menteri Vs Orang Miskin

Lisbon Sirait, Direktur Sistem Penganggaran, menjelaskan dalam media briefing pada 2 Juni 2025 bahwa SBM 2026 adalah hasil penyesuaian satuan biaya berdasarkan survei BPS dan masukan dari akademisi. Tujuannya: efisiensi tanpa mengorbankan efektivitas.

Namun, efisiensi, seperti pisau bermata dua, kadang ia mengiris target yang hendak diselamatkan. Mari kita lihat data.

Pada kuartal I 2025, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 4,87 persen (y-on-y), melambat dari 5,02persen  di periode sebelumnya.

Konsumsi rumah tangga yang selama ini menopang 54,53 persen PDB, hanya tumbuh 4,89 persen. Investasi (I) bahkan lebih muram, hanya 2,12 persen, sementara ekspor-impor (X-M) terus tertekan oleh defisit neraca perdagangan dan dampak perang tarif Amerika.

Satu-satunya penyokong yang masih berdiri tegak adalah belanja pemerintah (G). Pemerintah menggelontorkan Rp 620,3 triliun di kuartal I 2025, atau sekitar 17,1 persen dari target tahunan.

Tanpa "G" ini, perekonomian kita ibarat mesin tua yang kehabisan oli: gemeretak, panas, dan bisa mogok kapan saja.

Namun, kebijakan SBM 2026 justru mengetatkan keran "G" itu. Pemangkasan honorarium pengelola keuangan hingga 38 persen, penghapusan satuan biaya komunikasi dan uang saku rapat full day, penurunan biaya transportasi 10 persen.

Semua ini tampak seperti langkah rasional di atas kertas, tetapi punya efek domino yang mungkin tidak diperhitungkan sepenuhnya.

Lihatlah, sejarah mencatat ketika MenPAN Yuddy Chrisnandi pada 2015, melarang seminar di hotel demi penghematan, industri perhotelan anjlok.

Okupansi hotel di kota-kota kecil turun hingga 30 persen, banyak yang gulung tikar. Armada penerbangan kehilangan penumpang PNS yang selama ini menjadi pelanggan setia. Ekonomi daerah yang bergantung pada kunjungan birokrat menjadi lesu.

Fenomena serupa mulai terasa lagi sekarang. Laporan PHRI menunjukkan penurunan okupansi hotel 18 persen sejak pengumuman SBM 2026, maskapai mencatat penurunan 12 persen penumpang korporat, dan UMKM di sekitar pusat-pusat pemerintahan merasakan lesunya permintaan.

Di negara-negara lain, peran belanja pemerintah sebagai penggerak ekonomi juga diakui. Di Italia, belanja pemerintah mencapai 53,8 persen PDB, di Irlandia 22,65 persen, dan di Jepang, pemerintah menggelontorkan stimulus besar-besaran saat pandemi untuk menyelamatkan sektor riil.

Indonesia, dengan rasio belanja pemerintah sekitar 16,65 persen PDB, sebenarnya masih punya ruang fiskal. Namun, ruang itu justru dipersempit oleh obsesi pada efisiensi semu.

Baca juga: Penurunan Tingkat Pengangguran dan Lonjakan Sektor Informal

Kebijakan penghapusan uang saku rapat, misalnya, terlihat bijak untuk mengurangi belanja tak langsung. Namun, apakah kita mempertimbangkan bahwa tidak semua koordinasi bisa digantikan oleh Zoom?

Dalam penyusunan dokumen perencanaan strategis lintas kementerian, dalam pembahasan lintas sektor seperti RAN Pangan, Roadmap SDM, atau mitigasi bencana, interaksi fisik adalah kebutuhan, bukan kemewahan.

Demikian juga dengan pemangkasan honorarium pengelola keuangan. Di atas kertas, penghematan ini mencatatkan angka.

Namun di lapangan, honor yang kecil atau bahkan penghapusan honor, memicu moral hazard: siapa yang mau bekerja dengan baik jika beban bertambah, tapi penghargaan berkurang?

Efisiensi tanpa perbaikan sistem merit, tanpa simplifikasi birokrasi, hanya akan melahirkan frustrasi di level teknis.

Baca juga: Awal Tenggelamnya Reformasi Birokrasi: Rusaknya Sistem Merit

Ada secercah kabar baik: penambahan satuan biaya magang mahasiswa adalah langkah positif. Namun, tanpa target yang jelas, jumlah mahasiswa yang akan dibantu, sektor yang akan dituju, dan evaluasi hasilnya, langkah ini bisa menjadi sekadar catatan administratif.

Maka, efisiensi anggaran bukan hanya soal mengurangi angka. Ia soal menjaga kepercayaan.

Seperti kata ekonom Joseph Stiglitz, “The success of any economy is built on the confidence of its citizens”.

Kebijakan SBM harus memastikan bahwa di balik pemangkasan, ada kepastian keberlanjutan program, ada perlindungan terhadap sektor-sektor yang rentan, dan ada keberpihakan pada penciptaan dampak sosial.

Negara bukan sekadar akuntansi, bukan hanya saldo di neraca. Negara adalah janji: bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan, setiap biaya yang ditekan, bukan sekadar angka, tetapi adalah upaya untuk memastikan roda ekonomi tetap bergerak, tidak pincang, tidak mandek, dan tidak sekadar menjadi angka dalam laporan keuangan tahunan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya
InJourney Hospitality Group Salurkan Hewan Kurban Idul Adha
InJourney Hospitality Group Salurkan Hewan Kurban Idul Adha
Ekbis
Bupati Raja Ampat: Masyarakat Tak Mau Tambang Nikel PT Gag Ditutup ...
Bupati Raja Ampat: Masyarakat Tak Mau Tambang Nikel PT Gag Ditutup ...
Ekbis
Meski Kantongi Izin Resmi, Bahlil Perketat Pengawasan 5 Perusahaan Tambang di Raja Ampat
Meski Kantongi Izin Resmi, Bahlil Perketat Pengawasan 5 Perusahaan Tambang di Raja Ampat
Ekbis
OJK: Buron Kasus Investree Adrian Gunadi Ada di Qatar
OJK: Buron Kasus Investree Adrian Gunadi Ada di Qatar
Ekbis
7.000 Pekerjanya Kena PHK, P&G Tak Kebal Efek Tarif Trump
7.000 Pekerjanya Kena PHK, P&G Tak Kebal Efek Tarif Trump
Ekbis
Peringati Idul Adha 1446 H, Pertamina Hulu Salurkan Ribuan Hewan Kurban  hingga ke Pelosok
Peringati Idul Adha 1446 H, Pertamina Hulu Salurkan Ribuan Hewan Kurban hingga ke Pelosok
Ekbis
Disney Lakukan PHK, Ratusan Karyawan Bagian Film, Televisi dan Keuangan Terdampak
Disney Lakukan PHK, Ratusan Karyawan Bagian Film, Televisi dan Keuangan Terdampak
Ekbis
Cara Pesan SR022 via wondr by BNI, Bisa Dapat Cashback hingga Rp 15 Juta
Cara Pesan SR022 via wondr by BNI, Bisa Dapat Cashback hingga Rp 15 Juta
Ekbis
LQ45 Masih Tertekan, Stimulus Ekonomi dan Dividen Jadi 'Angin Segar' di Semester II 2025
LQ45 Masih Tertekan, Stimulus Ekonomi dan Dividen Jadi "Angin Segar" di Semester II 2025
Cuan
Perusahaan Tambang di Pulau Gag Raja Ampat Dapat Keistimewaan Khusus
Perusahaan Tambang di Pulau Gag Raja Ampat Dapat Keistimewaan Khusus
Energi
BSU Juni-Juli 2025 Cair, Simak Cara Cek dan Kriterianya
BSU Juni-Juli 2025 Cair, Simak Cara Cek dan Kriterianya
Ekbis
Mentan Geram Ada Oknum yang Manipulasi Data Stok Beras, Bakal Ambil Langkah Hukum
Mentan Geram Ada Oknum yang Manipulasi Data Stok Beras, Bakal Ambil Langkah Hukum
Ekbis
Gubernur Papua Barat Daya Bantah Isu Kerusakan Lingkungan di Pulau Gag: Hoaks, Air Lautnya Biru...
Gubernur Papua Barat Daya Bantah Isu Kerusakan Lingkungan di Pulau Gag: Hoaks, Air Lautnya Biru...
Ekbis
6 Mitos soal AI yang Dipatahkan Studi Global, Termasuk Soal Ancaman terhadap Pekerjaan
6 Mitos soal AI yang Dipatahkan Studi Global, Termasuk Soal Ancaman terhadap Pekerjaan
Ekbis
OECD Prediksi Defisit APBN Indonesia Naik tapi Masih Sesuai Batas Aman
OECD Prediksi Defisit APBN Indonesia Naik tapi Masih Sesuai Batas Aman
Keuangan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau