India juga pernah menerapkan kebijakan Minimum Import Price (MIP) untuk baja tertentu sebagai instrumen proteksi industri baja nasional dari banjir impor murah.
Brasil menerapkan sistem kuota dan tarif progresif untuk mengendalikan impor baja, yang pada dasarnya berfungsi sebagai pengaman harga domestik.
Sementara Amerika Serikat menggunakan tarif tinggi dan trade remedies yang ketat untuk menjaga produk baja impor agar tidak dijual dengan harga rendah yang merugikan produsen domestik.
Ketiga, pengendalian impor oleh Bulog. Dalam sektor pertanian, pemerintah menerapkan kebijakan pembatasan impor beras melalui penunjukan Bulog sebagai satu-satunya off-taker resmi, sehingga pemerintah memiliki kendali penuh terhadap volume impor, distribusi, dan harga.
Dengan kebijakan ini, stabilitas harga di tingkat petani terjaga, keseimbangan antara produksi dalam negeri dan kebutuhan pasar dapat diatur, serta pendapatan petani terlindungi.
Berbeda dengan beras, impor baja di Indonesia tidak dilakukan oleh satu lembaga tunggal. Saat ini, baja dapat diimpor oleh banyak pelaku usaha swasta.
Untuk mengendalikan impor baja agar tidak mengganggu pasar domestik, pemerintah menerapkan mekanisme Larangan dan/atau Pembatasan (Lartas) yang mewajibkan importir memperoleh Persetujuan Teknis (Pertek).
Baca juga: Pemakzulan Gibran yang Tak Memenuhi Syarat
Namun demikian, mekanisme impor ini masih dapat ditingkatkan efektivitasnya agar lebih optimal dalam mendukung penguasaan pangsa pasar domestik oleh produsen baja nasional.
Untuk itu, pemerintah perlu mempertimbangkan adaptasi kebijakan distribusi yang lebih terpusat, mirip seperti Bulog di sektor pangan.
Kebijakan importir tunggal Bulog untuk beras sesungguhnya dapat diadopsi dalam industri baja melalui pembentukan Pusat Logistik Baja Nasional (PLBN) yang berfungsi sebagai pusat distribusi baja bagi proyek-proyek strategis nasional (PSN).
Selain sebagai pusat distribusi, PLBN juga dapat berperan sebagai cadangan strategis nasional untuk mengantisipasi gejolak harga global dan gangguan pasokan.
Dengan perannya tersebut, PLBN dapat membantu menjaga kestabilan harga baja domestik, memenuhi kebutuhan proyek strategis nasional secara efisien, serta membatasi impor.
Selain itu, PLBN dapat meningkatkan efisiensi pengadaan baja melalui koordinasi distribusi yang lebih baik, perencanaan pasokan yang terpusat, dan integrasi rantai pasok yang lebih baik.
Keempat, pembiayaan murah untuk modal kerja. Dalam sektor pertanian, pemerintah menyediakan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan bunga rendah sekitar 3 persen per tahun untuk membantu petani mengakses pembiayaan modal kerja yang terjangkau.
Skema ini diperlukan agar petani dapat menjaga biaya produksinya sehingga dapat menjual hasil panen secara menguntungkan.
Industri baja nasional juga membutuhkan dukungan pembiayaan yang kompetitif agar memiliki daya saing biaya yang lebih baik.
Saat ini, industri baja di Indonesia masih mengandalkan kredit komersial dengan tingkat bunga yang relatif tinggi.
Berdasarkan data Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) dari lima bank besar nasional per awal Juni 2025, suku bunga kredit korporasi berkisar antara 7,8 persen hingga 8,76 persen per tahun .
Tingginya suku bunga ini berdampak pada beban biaya produksi dan daya saing industri baja nasional.
Baca juga: Nexus akan Menyingkirkan QRIS?
Sebagai perbandingan, pemerintah China menyediakan suku bunga pinjaman bagi industri strategis (termasuk baja) yang lebih rendah, yaitu sekitar 3,1persen per tahun, dibandingkan dengan suku bunga komersial di China yang rata-rata berkisar antara 4–6 persen per tahun (CEIC Data).
Kebijakan ini memungkinkan produsen baja di China mendapatkan daya saing biaya yang lebih baik sehingga dapat menjual produk baja dengan harga lebih kompetitif di pasar internasional.
Kelima, infrastruktur produksi dan logistik. Dalam sektor pertanian, pemerintah mendukung pembangunan infrastruktur penunjang seperti jaringan irigasi, jalan desa, dan akses distribusi untuk memudahkan transportasi hasil panen ke pasar.
Infrastruktur ini membantu menekan biaya distribusi, meningkatkan efisiensi produksi, dan menjaga stabilitas harga di tingkat petani.
Industri baja nasional juga memerlukan dukungan infrastruktur produksi dan logistik yang memadai agar dapat meningkatkan efisiensi distribusi produk dan menekan biaya produksi.
Saat ini, distribusi produk baja domestik masih menghadapi tantangan karena lokasi pabrik yang tersebar, sehingga menyulitkan dukungan logistik yang optimal.