DALAM sistem presidensial Indonesia, posisi wakil presiden memiliki kedudukan yang kuat dalam struktur konstitusi.
Pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat dan dilindungi oleh mekanisme hukum yang ketat.
Oleh karena itu, proses pemakzulan bukan hanya soal ketidakpuasan moral atau politik, tetapi harus melalui pembuktian yang sahih dan terbatas pada syarat-syarat yang telah ditentukan dalam UUD 1945.
Surat dari empat jenderal purnawirawan TNI kepada DPR dan MPR yang mengusulkan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka patut diapresiasi sebagai ekspresi kebebasan berpendapat.
Baca juga: 4 Jenderal Purnawirawan TNI Surati MPR-DPR, Dorong Pemakzulan Gibran
Namun, secara konstitusional, usulan tersebut sulit direalisasikan karena tidak terpenuhinya prasyarat hukum dan pembuktian pelanggaran berat yang dapat dikenai pemakzulan.
Pencalonan Gibran memang dilandasi putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023 yang membuka ruang bagi calon kepala daerah di bawah usia 40 tahun.
Mahkamah Kehormatan MK memang menyatakan adanya pelanggaran etik oleh hakim Anwar Usman karena konflik kepentingan.
Namun, pelanggaran etik ini tidak serta merta menular pada Gibran sebagai pihak yang tidak terlibat dalam proses peradilan tersebut.
Dalam sistem hukum kita, pelanggaran etik hakim tidak menjadikan putusan otomatis batal demi hukum, apalagi membatalkan status hukum seseorang yang telah sah mengikuti Pemilu dan dilantik sebagai wakil presiden.
Maka, menyimpulkan bahwa Gibran harus dimakzulkan karena lahir dari putusan yang cacat etik adalah kekeliruan logika hukum.
Pasal 7B UUD 1945 secara tegas menyebutkan bahwa presiden dan wakil presiden hanya dapat diberhentikan jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa: pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela.
Dan semuanya harus dibuktikan terlebih dahulu melalui mekanisme hukum dan diuji oleh Mahkamah Konstitusi.
Baca juga: Mencopot Wakil Presiden Gibran Rakabuming: Antara Mandat Rakyat vs Konsensus Elite
Sampai hari ini, tidak ada satu pun proses hukum yang menyatakan Gibran melakukan pelanggaran hukum berat. Tidak ada status tersangka, terdakwa, apalagi terpidana.
Bahkan, isu-isu yang diangkat dalam surat purnawirawan lebih menyerupai narasi politik ketimbang fakta hukum yang bisa diuji di pengadilan.
Benar bahwa dalam demokrasi, isu kepantasan, pengalaman, dan integritas menjadi perhatian publik. Namun, dalam konteks jabatan publik yang sudah sah diperoleh melalui pemilu, ukuran kepatutan tidak bisa dijadikan dasar pemberhentian.