Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Firdaus Arifin
Dosen

Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat

Pemakzulan Gibran yang Tak Memenuhi Syarat

Kompas.com - 04/06/2025, 05:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM sistem presidensial Indonesia, posisi wakil presiden memiliki kedudukan yang kuat dalam struktur konstitusi.

Pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat dan dilindungi oleh mekanisme hukum yang ketat.

Oleh karena itu, proses pemakzulan bukan hanya soal ketidakpuasan moral atau politik, tetapi harus melalui pembuktian yang sahih dan terbatas pada syarat-syarat yang telah ditentukan dalam UUD 1945.

Surat dari empat jenderal purnawirawan TNI kepada DPR dan MPR yang mengusulkan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka patut diapresiasi sebagai ekspresi kebebasan berpendapat.

Baca juga: 4 Jenderal Purnawirawan TNI Surati MPR-DPR, Dorong Pemakzulan Gibran

Namun, secara konstitusional, usulan tersebut sulit direalisasikan karena tidak terpenuhinya prasyarat hukum dan pembuktian pelanggaran berat yang dapat dikenai pemakzulan.

Etika

Pencalonan Gibran memang dilandasi putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023 yang membuka ruang bagi calon kepala daerah di bawah usia 40 tahun.

Mahkamah Kehormatan MK memang menyatakan adanya pelanggaran etik oleh hakim Anwar Usman karena konflik kepentingan.

Namun, pelanggaran etik ini tidak serta merta menular pada Gibran sebagai pihak yang tidak terlibat dalam proses peradilan tersebut.

Dalam sistem hukum kita, pelanggaran etik hakim tidak menjadikan putusan otomatis batal demi hukum, apalagi membatalkan status hukum seseorang yang telah sah mengikuti Pemilu dan dilantik sebagai wakil presiden.

Maka, menyimpulkan bahwa Gibran harus dimakzulkan karena lahir dari putusan yang cacat etik adalah kekeliruan logika hukum.

Pasal 7B UUD 1945 secara tegas menyebutkan bahwa presiden dan wakil presiden hanya dapat diberhentikan jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa: pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela.

Dan semuanya harus dibuktikan terlebih dahulu melalui mekanisme hukum dan diuji oleh Mahkamah Konstitusi.

Baca juga: Mencopot Wakil Presiden Gibran Rakabuming: Antara Mandat Rakyat vs Konsensus Elite

Sampai hari ini, tidak ada satu pun proses hukum yang menyatakan Gibran melakukan pelanggaran hukum berat. Tidak ada status tersangka, terdakwa, apalagi terpidana.

Bahkan, isu-isu yang diangkat dalam surat purnawirawan lebih menyerupai narasi politik ketimbang fakta hukum yang bisa diuji di pengadilan.

Benar bahwa dalam demokrasi, isu kepantasan, pengalaman, dan integritas menjadi perhatian publik. Namun, dalam konteks jabatan publik yang sudah sah diperoleh melalui pemilu, ukuran kepatutan tidak bisa dijadikan dasar pemberhentian.

Jika tidak, maka setiap pejabat yang dianggap kurang pantas oleh sekelompok orang bisa saja dimakzulkan hanya berdasarkan penilaian subjektif.

Kepatutan adalah ranah etik dan opini. Sedangkan pemakzulan adalah ranah hukum dan pembuktian. Mencampuradukkan keduanya hanya akan membahayakan stabilitas sistem pemerintahan.

Secara politik, proses pemakzulan membutuhkan dukungan dua pertiga anggota DPR dan pengujian oleh Mahkamah Konstitusi.

Tanpa dukungan bukti dan landasan hukum yang kuat, proses ini tidak hanya akan gagal secara prosedural, tetapi juga menimbulkan preseden buruk dalam penggunaan kewenangan MPR dan DPR.

Demokrasi memang memberi ruang kritik dan kontrol. Namun, ia juga memberi perlindungan kepada pejabat publik dari tekanan yang tidak berbasis hukum. Jika pemakzulan digunakan sebagai alat politik, maka konstitusi telah disalahgunakan.

Konstitusi

Konstitusi memberikan batasan yang sangat ketat dalam mekanisme pemberhentian presiden dan wakil presiden. Ia melindungi sistem pemerintahan dari intervensi emosional dan tekanan opini.

Dalam hal Gibran, tidak ada satu pun syarat hukum dalam Pasal 7B UUD 1945 yang terpenuhi.

Apa yang terjadi dalam proses pencalonan Gibran adalah polemik etik, bukan pelanggaran hukum oleh dirinya.

Maka, koreksi terhadap proses Pemilu seharusnya dilakukan melalui evaluasi regulasi dan pengawasan yang lebih ketat ke depan, bukan dengan cara memaksakan pemakzulan.

Pemakzulan bukan sekadar wacana politik. Ia adalah langkah konstitusional yang sangat serius dan harus didasarkan pada hukum, bukan opini.

Baca juga: Optimisme dari Luka: Paradoks Harapan dan Kecemasan Rakyat Indonesia

 

Ketika kita menggunakan instrumen hukum untuk memuaskan kemarahan moral, maka yang rusak bukan hanya satu individu, melainkan seluruh sistem hukum dan demokrasi kita.

Karena itu, berdasarkan asas hukum, mekanisme konstitusional, dan fakta yang ada, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka tidak dapat dimakzulkan.

Kritik terhadap proses politik memang sah, tetapi negara hukum menuntut lebih dari sekadar ketidakpuasan.

Last not but least, mari kita akhiri soal drama politik pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres) 2024.

Kini saatnya kita membuka lembaran baru, merapatkan barisan bersatu padu sesama anak bangsa bahu membahu membangun negeri menuju Indonesia Emas 2045. Semoga.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya
Tambang Nikel di Pulau Batang Pele Raja Ampat Ada di Hutan Lindung
Tambang Nikel di Pulau Batang Pele Raja Ampat Ada di Hutan Lindung
Nasional
Pemerintah Sebut Tambang Nikel Pulau Kawei Raja Ampat Melebihi Batas
Pemerintah Sebut Tambang Nikel Pulau Kawei Raja Ampat Melebihi Batas
Nasional
Menteri LH: Izin Lingkungan Tambang Raja Ampat Diterbitkan Bupati pada 2006
Menteri LH: Izin Lingkungan Tambang Raja Ampat Diterbitkan Bupati pada 2006
Nasional
Pemerintah Perkarakan Pencemaran Pulau Manuran Raja Ampat ke Ranah Hukum
Pemerintah Perkarakan Pencemaran Pulau Manuran Raja Ampat ke Ranah Hukum
Nasional
Anggota DPR Sebut Tambang Ilegal Papua Dibekingi Aparat, TNI: Laporkan!
Anggota DPR Sebut Tambang Ilegal Papua Dibekingi Aparat, TNI: Laporkan!
Nasional
Sejumlah Jemaah Haji RI Tak Dapat Tenda, Ketua PPIH Minta Maaf
Sejumlah Jemaah Haji RI Tak Dapat Tenda, Ketua PPIH Minta Maaf
Nasional
Penulis Ulang Sejarah RI: Tone Positif Tak Berarti Gelapkan Hal Jelek
Penulis Ulang Sejarah RI: Tone Positif Tak Berarti Gelapkan Hal Jelek
Nasional
Urus Udara Jakarta yang Memprihatinkan, Menteri LH Belum ke Raja Ampat
Urus Udara Jakarta yang Memprihatinkan, Menteri LH Belum ke Raja Ampat
Nasional
Dukung Penutupan Tambang Nikel di Raja Ampat, Lamhot Sinaga: Keindahan Alam dan Kekayaan Hayati Harus Dilestarikan
Dukung Penutupan Tambang Nikel di Raja Ampat, Lamhot Sinaga: Keindahan Alam dan Kekayaan Hayati Harus Dilestarikan
Nasional
Eks Kepala PPATK Salut Djaka Budi Utama Terima Jabatan Dirjen Bea Cukai
Eks Kepala PPATK Salut Djaka Budi Utama Terima Jabatan Dirjen Bea Cukai
Nasional
Menteri LH Perlihatkan Foto Tambang di Raja Ampat, Begini Kondisinya
Menteri LH Perlihatkan Foto Tambang di Raja Ampat, Begini Kondisinya
Nasional
Menteri LH: Pantai Pulau Manuran Raja Ampat Keruh karena Tambang Nikel
Menteri LH: Pantai Pulau Manuran Raja Ampat Keruh karena Tambang Nikel
Nasional
Perusahaan Fashion Irlandia Gugat Merk “Primark” Milik Warga Gambir
Perusahaan Fashion Irlandia Gugat Merk “Primark” Milik Warga Gambir
Nasional
Letak Pulau Gag di Raja Ampat yang Disorot karena Tambang Nikel
Letak Pulau Gag di Raja Ampat yang Disorot karena Tambang Nikel
Nasional
Pemerintah Tinjau Kembali Persetujuan Lingkungan 4 Tambang di Raja Ampat
Pemerintah Tinjau Kembali Persetujuan Lingkungan 4 Tambang di Raja Ampat
Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau