KOMPAS.com – Zat kimia bisfenol A (BPA) yang digunakan dalam berbagai kemasan plastik kembali menjadi perhatian dunia internasional.
Pada pertemuan Intergovernmental Negotiating Committee (INC-5)—forum resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk membahas polusi plastik—sebanyak 85 negara mengusulkan pelarangan total penggunaan BPA secara global. Pertemuan ini digelar di Jenewa, Swiss, mulai Selasa (5/8/2025) hingga Kamis (14/8/2025).
Sebagai informasi, sejak 1950-an, BPA dipakai untuk memproduksi plastik keras, seperti galon guna ulang, botol minum, dan wadah makanan.
Baca juga: 85 Negara Sepakat Dorong Penetapan BPA sebagai Bahan Kimia Berbahaya
Namun, penelitian menunjukkan bahwa zat tersebut mudah bermigrasi ke dalam makanan atau minuman, terutama ketika terkena panas, sinar matahari, larutan dengan tingkat keasaman, atau digunakan berulang.
“BPA akan luruh saat bersentuhan dengan air, dan prosesnya semakin cepat jika terkena panas atau dicuci berulang,” ujar pakar polimer dari Universitas Indonesia Profesor Mochamad Chalid dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Kamis (21/8/2025).
Sejumlah studi juga mengaitkan paparan BPA dengan gangguan hormon, penurunan kesuburan, masalah metabolisme, dan risiko kanker. Anak-anak dan ibu hamil disebut sebagai kelompok paling rentan terdampak.
Pada pertemuan sebelumnya di Busan, Korea Selatan, 85 negara telah sepakat memasukkan BPA ke dalam “Daftar 1 Bahan Kimia Berbahaya”.
Baca juga: Sebanyak 40 Persen Galon Guna Ulang Tua Masih Dipakai, KKI: Risiko BPA Mengintai Setiap Hari
Proposal pelarangan total yang dipimpin Norwegia itu mendapat dukungan Uni Eropa, Australia, Kanada, dan sejumlah negara Afrika. Naskah negosiasi juga mencakup kewajiban pelabelan kandungan BPA agar konsumen mendapat informasi jelas.
Di Indonesia, kewajiban label peringatan pada galon polikarbonat sudah diatur melalui Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor 6 Tahun 2024. Aturan ini akan berlaku pada 2028 dengan masa transisi empat tahun bagi produsen.
Pertemuan di Jenewa disebut menjadi momentum penentu untuk merumuskan jadwal penghapusan bertahap, dukungan teknis bagi negara berkembang, serta sistem pemantauan.
Upaya itu diharapkan dapat membuka jalan menuju penggunaan kemasan plastik yang lebih aman bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan.