JAKARTA, KOMPAS.com - Ombudsman RI menyoroti paradoks tata kelola beras nasional.
Di satu sisi, data produksi beras nasional yang dirilis pemerintah menunjukkan tren surplus, namun di sisi lain, harga beras di lapangan justru meroket dan membebani masyarakat.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, mengingatkan agar publik tidak kehilangan “akal sehat” dalam membaca data beras.
Jika merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras nasional pada 2019 tercatat sebesar 31,3 juta ton.
Baca juga: Zulhas Mau Naikkan Target Penyaluran Beras SPHP Jadi 30.000 Ton Sehari
Sementara pada 2024, jumlahnya menurun menjadi 30,6 juta ton, atau turun sekitar 0,7 juta ton alias 2,24 persen.
Namun, anehnya muncul angka ramalan pemerintah yang menyebut ketersediaan beras dari Januari hingga September 2025 sudah mencapai 36,98 juta ton.
Angka ini jelas lebih tinggi 6,38 juta ton dibanding total produksi sepanjang tahun lalu versi BPS.
“Lantas konyong-konyong ada pemberitaan Januari-September (2025) ini, enggak tahu ini Pak Hudori, ketersediaan beras mencapai 36,98 persen,” ujar Yeka saat dalam forum diskusi yang digelar Ombudsman RI, Selasa (27/8/2025).
“Baru September loh, September artinya ke Desember itu masih ada 4 bulan lagi. Jadi, September ini diperkirakan katanya ketersediaan beras mencapai 36,98 juta ton. Artinya apa? Ini berarti 6,38 juta ton lebih besar dibandingkan dengan produksi tahun 2024, tahun lalu,” paparnya.
Kelebihan 6,38 juta ton itu menimbulkan pertanyaan besar.
Jika benar, maka harus ada tambahan luas panen sekitar 1 - 1,3 juta hektar (ha) yang selama ini tidak pernah tercatat.
Pilihan lain, lonjakan itu berasal dari peningkatan produktivitas sekitar 20 persen.
Padahal, menurut data BPS, produktivitas gabah nasional rata-rata hanya berkisar 5,1 - 5,2 ton per hektar.
Jika angka ramalan pemerintah akurat, maka berarti sepanjang Januari hingga September 2024, produktivitas naik menjadi sekitar 6 ton per hektar, atau ada tambahan satu ton per hektar yang sebelumnya tidak pernah terjadi.
Dengan kata lain, ramalan produksi itu menggambarkan seolah-olah telah terjadi lompatan besar, entah berupa perluasan sawah secara tiba-tiba, program food estate yang diam-diam berhasil, atau peningkatan produktivitas yang sangat signifikan.
Namun, fakta di lapangan tidak menunjukkan adanya perubahan besar tersebut.
Inilah mengapa Ombudsman menilai data surplus beras perlu dipertanyakan kewarasannya, karena tidak konsisten dengan data resmi maupun realitas di pasar.
“Nah, makanya disini tetap kita harus jaga kewarasan kita. Nanti saya tidak punya kapasitas untuk mengatakan mungkin dan tidak mungkin karena bukan pakar budidaya,” beber Yeka.
“Jadi, di tengah seperti itu, lantas kok kayaknya capek banget gitu surplus banyak, tapi capek-capek itu gini beras, tiba-tiba harga melonjak,” lanjutnya.
Baca juga: Bapanas Rilis Ketentuan HET Terbaru Beras Medium dan Premium, Ini Rinciannya
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini