BAYANGKAN seorang karyawan muda, di mana setiap bulan gajinya habis, bahkan sebelum tanggal gajian tiba.
Namun, gaya hidupnya tetap terlihat prima seperti sering makan di kafe kekinian, rutin belanja fesyen terbaru, hingga memesan tiket liburan.
Rahasianya? Satu aplikasi di ponselnya, yaitu paylater. Dengan sekali klik, ia bisa menikmati barang dan jasa apa pun, tanpa harus menunggu gajinya cair. Seolah hidupnya serba mudah—sampai tagihan jatuh tempo datang menghantam.
Fenomena paylater memang sedang menjadi tren besar di Indonesia. Layanan ini memungkinkan konsumen membeli produk sekarang dan membayar belakangan, biasanya dalam jangka waktu 30 hari hingga 12 bulan.
Tidak perlu kartu kredit, cukup verifikasi KTP, maka akses konsumsi seakan terbuka tanpa batas.
Di balik kenyamanan itu, terselip tanda tanya besar, yaitu apakah paylater benar-benar membantu masyarakat mengatur keuangan, atau justru membuat mereka terjebak dalam lingkaran utang konsumtif?
Perkembangan paylater tidak bisa dilepaskan dari pesatnya ekonomi digital di Indonesia. Menurut data Bank Indonesia, nilai transaksi ekonomi digital pada 2024, mencapai lebih dari Rp 800 triliun.
Baca juga: Burden Sharing: Penopang Ekonomi atau Bom Waktu?
Dari jumlah itu, buy now, pay later atau BNPL mencatat pertumbuhan tercepat, dengan pengguna meningkat hampir dua kali lipat dalam dua tahun terakhir.
Platform besar seperti GoPayLater, Shopee PayLater, OVO PayLater, hingga Traveloka PayLater berlomba-lomba merebut hati konsumen.
Bahkan perusahaan teknologi keuangan (fintech) khusus BNPL seperti Kredivo atau Akulaku berhasil menembus jutaan pengguna.
Menurut laporan DSInnovate (2025), sekitar 45 persen pengguna layanan e-commerce di Indonesia pernah menggunakan paylater. Angka ini lebih tinggi dibanding penetrasi kartu kredit yang stagnan di kisaran 6–7 persen dari populasi.
Setidaknya ada empat alasan mengapa paylater begitu diminati. Pertama, mudah diakses, karena tidak perlu slip gaji, hanya verifikasi KTP.
Kedua, kecepatan persetujuan pinjaman hanya dalam hitungan menit. Ketiga, fleksibel karena dapat memilih tenor mulai dari 30 hari hingga 12 bulan.
Keempat, paylater terintegrasi dengan gaya hidup digital. Belanja online, pesan makanan, bahkan beli pulsa bisa dicicil.
Dengan kombinasi ini, paylater dianggap lebih relevan dibanding kartu kredit, terutama bagi anak muda yang melek digital, tapi sering kali belum memenuhi syarat pengajuan kartu kredit.
Namun, di balik kemudahan itu tersimpan sisi gelap. Banyak pengguna mengaku awalnya menggunakan paylater hanya untuk kebutuhan mendesak—misalnya membeli obat atau tiket mendadak.
Namun lama-kelamaan, kebiasaan itu merembet menjadi gaya hidup. Membeli barang diskon, mencoba makanan viral, hingga mengikuti tren fesyen. Semua terasa ringan karena bisa dibayar nanti.
Fenomena ini mirip dengan “utang gaya baru”, di mana konsumsi didahulukan, pembayaran dipikirkan belakangan. Bedanya, jika dulu orang harus berutang ke rentenir atau kartu kredit, kini cukup klik aplikasi.
Terdapat beberapa risiko utama yang muncul dari utang gaya baru ini. Pertama, bunga dan biaya tersembunyi.