BANK Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan RI (Kemenkeu) kembali menegaskan sinerginya melalui kesepakatan burden sharing untuk membiayai program-program prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Skema ini diwujudkan dengan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) oleh BI.
Hingga awal September 2025, Gubernur BI Perry Warjiyo melaporkan bahwa Bank Sentral telah membeli SBN senilai Rp 200 triliun di pasar sekunder.
Padahal, rencana awal pembelian SBN sepanjang tahun ini hanya sebesar Rp 150 triliun—baik di pasar sekunder maupun primer.
Artinya, realisasi pembelian SBN oleh BI sudah melampaui rencana awal, menandakan adanya dorongan kuat untuk menopang kebutuhan fiskal negara.
Langkah ini tentu memberikan ruang bagi pembiayaan program pemerintah, tetapi di saat yang sama, risiko utang dan stabilitas moneter juga mengintai.
Baca juga: RAPBN 2026: Bahaya Pajak yang Ekspansif Saat Ketimpangan Terjadi
Pertanyaannya, apakah burden sharing kali ini benar-benar menjadi penopang ekonomi, atau justru sebuah bom waktu bagi stabilitas keuangan nasional?”
Burden sharing bukan kebijakan baru dalam sejarah ekonomi Indonesia. Pada masa pandemi COVID-19 tahun 2020–2022, pemerintah dan BI menyepakati skema ini untuk menutup lonjakan defisit APBN yang sempat mencapai 6,14 persen terhadap PDB (Kemenkeu, 2021).
Melalui skema tersebut, BI menanggung pembelian SBN senilai Rp 397,56 triliun, dengan pembagian beban bunga: BI menanggung penuh bunga SBN untuk pembiayaan kesehatan dan perlindungan sosial, sementara untuk pembiayaan UMKM bunga ditanggung bersama pemerintah.
Hasilnya cukup signifikan. Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dapat direalisasikan hingga Rp 744,77 triliun, menopang konsumsi rumah tangga yang tetap tumbuh positif di tengah krisis (BPS, 2021).
Bahkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu pulih dari kontraksi -2,07 persen di 2020 menjadi 3,7 persen pada 2021, dan 5,3 persen di 2022 (World Bank, 2023).
Namun, setelah pandemi mereda, pemerintah menegaskan penghentian skema ini agar independensi BI tetap terjaga dan fiskal kembali pada jalur normal.
Manfaat utama burden sharing tampak pada perannya sebagai penopang ekonomi di masa sulit, menjaga konsumsi rumah tangga, melindungi UMKM, dan menopang pertumbuhan.
Baca juga: Krisis “Legitimasi” Demokrasi dan Ketimpangan Ekonomi
Data Kemenkeu (2022) mencatat realisasi belanja penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PEN) mencapai Rp 744,77 triliun, sebagian besar ditopang dari skema ini.
Dari sisi masyarakat, bantuan tersebut menjaga konsumsi rumah tangga, yang terbukti menyumbang 54,42 persen terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia (BPS, 2022).