Ketiga, paylater merupakan solusi darurat. Dalam kondisi mendesak, paylater bisa menjadi penyelamat, misalnya untuk biaya kesehatan.
Keempat, pendidikan finansial awal. Jika digunakan bijak, paylater bisa melatih anak muda mengelola cicilan dan disiplin membayar tepat waktu.
Namun, poin terakhir ini membutuhkan literasi keuangan yang cukup, sesuatu yang masih menjadi pekerjaan rumah besar di Indonesia.
Sayangnya, literasi keuangan di Indonesia masih rendah. OJK mencatat indeks literasi keuangan pada 2025 baru mencapai 66,46 persen. Artinya, masih ada masyarakat yang belum memahami produk dan risiko keuangan yang mereka gunakan.
Kondisi ini diperparah oleh pemasaran agresif dari perusahaan paylater. Iklan sering menonjolkan kemudahan dan promo, tanpa cukup menekankan risiko. Konsumen, terutama anak muda, akhirnya terjebak pada euforia konsumsi tanpa perhitungan matang.
Fenomena ini mirip dengan krisis subprime mortgage di Amerika Serikat pada 2008, di mana banyak orang berutang tanpa memahami konsekuensi jangka panjang.
Meski skalanya berbeda, pola perilakunya serupa, yaitu konsumsi berbasis utang tanpa literasi memadai.
Terdapat beberapa isu yang perlu diperhatikan terkait dengan paylater. Pertama, transparasi biaya. Banyak pengguna tidak paham biaya tersembunyi. Regulasi perlu mewajibkan penyedia menampilkan simulasi biaya total secara jelas.
Baca juga: Rakyat Miskin, Negara Kaya, Uangnya di Mana?
Kedua, perlunya ada batasan kredit. Untuk mencegah overlending, perlu ada sistem informasi kredit terintegrasi antar-penyedia paylater.
Ketiga, pentingnya edukasi pengguna. Wajib ada program literasi keuangan setiap kali seseorang mendaftar paylater.
Keempat, pemerintah perlu melakukan pengawasan iklan. Jangan hanya menonjolkan diskon, tapi harus ada peringatan risiko. Jika regulasi tidak ketat, fenomena paylater bisa menjadi bom waktu yang meledak sewaktu-waktu.
Fenomena paylater ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, ia membuka akses inklusi keuangan dan mendorong konsumsi. Di sisi lain, ia bisa menjerumuskan masyarakat pada jerat utang konsumtif yang sulit dilepaskan.
Membeli masa depan dengan utang hari ini memang terdengar menggoda. Namun, pada akhirnya, masa depan tetap harus dibayar dengan keringat hari esok.
Pertanyaannya, apakah kita siap membayar harga itu? Atau justru akan terjebak dalam lingkaran konsumsi tanpa ujung?
Sebagaimana kata pepatah, “utang itu ringan di awal, berat di akhir.” Fenomena paylater menjadi cermin bagaimana masyarakat modern sering kali memilih jalan mudah, meski konsekuensinya rumit.
Saatnya kita lebih bijak, di mana bukan menolak teknologi, tapi menggunakannya dengan kesadaran penuh. Karena masa depan yang kita beli hari ini, akan menagih bayaran besok.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini