
ADA ironi yang jarang disadari. Semakin sesuatu yang dianggap tidak bermoral—seperti pornografi—dikritik secara moral, semakin ia menjadi pusat perhatian. Semakin banyak orang yang justru penasaran. Pada akhirnya, semakin menguatlah sesuatu yang tidak bermoral itu.
Kritik moralitas sering kali berubah menjadi iklan gratis, yang tanpa sengaja mempromosikan subjek yang dikritik.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di ranah pornografi atau konten hiburan erotis, tetapi juga dalam politik, bernegara, bahkan kehidupan sosial yang luas.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya terletak pada hukum psikologis yang dikenal sebagai efek Streisand. Sebuah hukum psikologis yang timbul dari kejadian Barbra Streisand, seorang penyanyi di Amerika.
Streisand menggugat seorang fotografer, Kenneth Adelman, karena memotret rumahnya di California dan mengunggahnya ke web.
Sebelum gugatan, foto unggahan itu hampir tidak ada yang melihat. Namun, setelah gugatan diajukan dan diberitakan luas, foto itu justru dilihat ratusan ribu kali.
Baca juga: Pesan dari Pati: Jangan Pernah Menantang Rakyat
Dalam konteks sosial, efek ini menjadi lebih kompleks. Kritik moral bukan malah menutup akses, tetapi menciptakan panggung publik yang justru “memberikan oksigen” kepada perilaku amoral untuk terus bernapas.
Dalam konteks bernegara, kritik moral terhadap gaya hidup tertentu sering kali juga memperkuat gaya hidup itu sendiri.
Ambil contoh pada gelombang kontra-kebudayaan di Barat pada dekade 1960-an. Para politisi konservatif dan lembaga moral saat itu gencar memprotes musik rock, gaya hidup hippie, dan kebebasan seksual sebagai bentuk dekadensi. Namun, apa yang terjadi?
Kritik-kritik moral itu malah menjadi bahan bakar bagi anak muda untuk semakin mengidentifikasi diri dengan simbol-simbol pemberontakan tersebut.
Rock and roll tidak mati oleh kritik moral, justru menjadi budaya global. Hippie tidak hilang, malah menanamkan benih gaya hidup liberal yang hingga kini masih kuat.
Fenomena serupa juga tampak dalam kehidupan sosial kontemporer saat ini. Media sosial, yang kini menjadi arena pertempuran moral, memperlihatkan dengan gamblang paradoks ini.
Semakin suatu konten dianggap “tidak pantas” dan dilaporkan, justru semakin viral konten itu beredar.
Setiap kritik moral di kolom komentar ibarat menyalakan lampu sorot yang menarik lebih banyak penonton.
Seorang selebritas yang berpose vulgar mungkin saja hanya mendapat ribuan penonton pada awalnya. Namun, begitu publik gencar menyerangnya dengan tudingan amoral, jumlah penontonnya bisa melonjak menjadi jutaan.