Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Aditya Angga
Freelance

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana Jakarta

Transformasi Komunikasi Infklusif Pejabat Negara

Kompas.com - 30/08/2025, 18:13 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

AGUSTUS 2025, mestinya menjadi bulan refleksi, sebab bangsa ini baru saja merayakan ulang tahun ke-80 kemerdekaan.

Sayangnya, semangat kemerdekaan yang mestinya menghadirkan syukur dan persatuan, malah ternodai oleh kegaduhan politik akibat buruknya komunikasi para pejabat publik.

Publik belum reda gelombang kemarahan publik atas kebijakan dan pernyataan kontroversial Bupati Pati, Sudewo yang memicu unjuk rasa besar, pemakzulan, hingga teguran dari Istana.

Kita kembali dihadapkan dengan rentetan pernyataan pejabat negara yang justru memperkuat kesan bahwa komunikasi elite politik kita telah lepas kendali.

Masih di bulan yang sama, sejumlah pernyataan anggota DPR kembali menyulut amarah rakyat. Entah tanpa sadar atau memang disengaja, ucapan-ucapan itu memperlihatkan jarak sosial dan kultural antara mereka dan rakyat kebanyakan.

Baca juga: Ketidakadilan dan Kekecewaan Kolektif Rakyat Vs Tuduhan Pion Asing

Dari analogi soal tunjangan rumah “Rp 50 juta masih kurang untuk kos” hingga kritik terhadap netizen sebagai "mental tertolol", semua ini adalah potret retorika yang tampak “asing” di mata publik.

Bahasa representasi kekuasaan

Dalam politik modern, komunikasi bukan sekadar alat penyampaian pesan, melainkan instrumen utama untuk membangun legitimasi dan kepercayaan publik.

Pernyataan publik seorang pejabat negara—apakah itu anggota DPR, menteri, atau kepala daerah—tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu lahir dalam ruang sosial yang penuh makna, ditafsirkan, direkam, bahkan dipertanyakan oleh masyarakat.

Namun, realitas komunikasi politik kita kerap menunjukkan wajah sebaliknya. Kumpulan pernyataan pejabat publik yang beredar di ruang digital belakangan ini justru memperlihatkan bagaimana bahasa bisa berubah menjadi instrumen alienasi antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya.

Pernyataan bahwa tunjangan rumah Rp 50 juta per bulan “masih kurang” untuk membayar kos sejatinya menyederhanakan realitas penderitaan masyarakat miskin.

Dengan menjadikan angka sebesar itu sebagai standar yang dianggap tidak memadai, wakil rakyat mengabstraksikan kehidupan rakyat kecil ke dalam kalkulasi elitis yang timpang.

Padahal, jutaan warga hanya bertahan hidup dengan upah minimum sekitar Rp 3 juta–Rp 5 juta per bulan, bahkan sering di bawahnya.

Pernyataan semacam ini bukan sekadar keliru dalam pilihan kata, melainkan problem komunikasi politik yang lebih dalam: hilangnya perspektif kerakyatan.

Bahasa pejabat publik tidak hanya merepresentasikan dirinya, tetapi juga institusi yang diwakilinya. Maka, ucapan sembrono meskipun tidak sengaja, dapat mencederai legitimasi kelembagaan.

Baca juga: Menunggu Segera Langkah Politik Prabowo Redakan Krisis Sosial

 

Dalam konteks ini, komunikasi politik menjadi arena yang menunjukkan apakah seorang pejabat benar-benar memiliki sense of representation atau hanya sekadar menjalankan peran prosedural.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau