Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar UB: Rumuskan Aturan Spesifik tentang Pengecualian Bayar Royalti Musik

Kompas.com - 31/08/2025, 10:50 WIB
Nugraha Perdana,
Mahar Prastiwi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Penerapan aturan royalti musik di Indonesia dinilai belum sepenuhnya berpihak kepada pelaku ekonomi kerakyatan.

Hal itu disampaikan oleh Pakar Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Universitas Brawijaya (UB), Dr. Yenny Eta Widyanti, S.H., M.Hum.

Ia menegaskan pentingnya pengaturan pengecualian (exception) dalam pengenaan royalti agar tidak memberatkan pelaku usaha ultra mikro, seperti pengamen jalanan dan warung tegal (warteg).

Menurutnya, kebijakan yang menyamaratakan semua jenis usaha yang menggunakan musik untuk tujuan komersial adalah sebuah kekeliruan yang harus segera diperbaiki.

Baca juga: Pakar UGM Sebut Fenomena Rojali dan Rohana Disebabkan 2 Faktor Ini

Bayar royalti wajib ketika ada pihak yang memanfaatkan karya

"Di aturan hukum di Indonesia ini tidak diatur terkait dengan exception aturan tersebut. Nah ini menjadi PR bersama ke depannya, penting untuk kemudian tidak bisa disamaratakan royalti ini diberlakukan kepada semua pelaku usaha, terutama bagi mereka yang bahkan tidak masuk dalam kategori usaha mikro," ujar Dr. Yenny pada Senin (25/8/2025) lalu.

Dr. Yenny menyampaikan, bahwa di dalam Pasal 11 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/ atau Musik memang telah memberikan keringanan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Namun, regulasi tersebut belum menyentuh realitas di lapangan seperti pelaku usaha dengan modal dan omzet berada jauh di bawah standar usaha mikro.

"Nah pengamen ini tentunya dari modalnya kan tidak memenuhi standar itu, pelaku usaha warteg seperti kan juga banyak jumlahnya di Indonesia. Harapannya ke depan memang pelaku usaha yang tidak masuk kategori mikro bahkan dibawah mikro, maka kan penting untuk kemudian diatur terkait dengan exception pembayaran royalti," ungkapnya.

Baca juga: Apakah Stres Bikin Kepala Botak? Ini Penjelasan Pakar IPB

Lebih lanjut, Dr. Yenny menjelaskan bahwa kewajiban membayar royalti timbul ketika ada pihak yang memanfaatkan karya cipta (lagu/musik) untuk mendapatkan keuntungan ekonomi atau monetisasi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Royalti sendiri adalah bentuk imbalan yang wajar kepada pencipta atau pemegang hak cipta atas pemanfaatan karya mereka. Pengelolaan, penarikan, dan pendistribusian royalti ini di Indonesia dilakukan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

"Sampai saat ini di dalam undang-undang kita, kalau itu sudah ada manfaat ekonomi yang diperoleh, ada kepentingan komersil yang diperoleh atau monetize bagi pelaku usaha, maka sejak saat itu juga ada kewajiban untuk pembayaran royalti. Kecuali, jika suatu kegiatan ini tidak ada mendapatkan manfaat Keuntungan ekonomi atau monetize itu, maka itu tidak ada kewajiban dalam pembayaran royalti," ungkapnya.

Rumuskan aturan turunan yang lebih spesifik

Dr. Yenny juga mendorong pemerintah untuk segera merumuskan aturan turunan yang lebih spesifik mengenai pengecualian pembayaran royalti.

Selain itu, perlu ada kategorisasi jelas dan berkeadilan, yang membedakan tarif royalti antara usaha skala besar, menengah, kecil, dan bahkan membebaskan usaha ultra mikro.

"Yang pasti adalah kita tetap harus memperhatikan asas kewajaran, asas keadilan agar ekonomi rakyat kita juga bisa tumbuh," katanya.

Ilustrasi musik pereda stresUnsplash Ilustrasi musik pereda stres

Banyak pelaku usaha belum pahami royalti musik

Di sisi lain, ia juga menyampaikan masih banyak pelaku usaha belum memahami terkait royalti musik. Akibatnya, banyak pelaku usaha kecil memilih untuk tidak memutar musik sama sekali atau hanya memutar lagu-lagu kebangsaan karena khawatir akan tagihan royalti yang besar.

"Mungkin bisa sekarang melihat kalau masuk ke supermarket atau juga di beberapa restoran, warung yang diputar itu kan lagu-lagu kebangsaan itu, karena ketika ditanyakan takutnya enggak sanggup nanti bayar royaltinya. Jadi ini juga menjadi penting bagi masyarakat juga memahami," katanya.

Dr. Yenny juga menekankan pentingnya sosialisasi mengenai Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM) yang dikelola LMKN.

Melalui sistem ini, masyarakat dan pelaku usaha dapat mengakses data lagu, mengetahui siapa pencipta dan pemegang hak ciptanya, serta memahami status perlindungan sebuah karya.

Baca juga: Apakah Kucing Menangis dan Keluar Air Mata? Ini Kata Pakar IPB

"Masyarakat juga perlu tahu bahwa perlindungan hak cipta tidak selamanya. Setelah 70 tahun sejak pencipta meninggal dunia, karya tersebut menjadi public domain dan bebas dimanfaatkan siapa saja tanpa perlu membayar royalti," tutupnya.

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau