GAZA, KOMPAS.com – Keringat deras membasahi wajah Tareq Abu Youssef saat ia berusaha menyelesaikan latihan binaraga di sebuah tenda sederhana. Peralatan seadanya membuat setiap gerakan terasa lebih berat, terlebih tubuhnya kini kehilangan banyak tenaga.
Pemuda Palestina berusia 23 tahun itu hanya bisa berlatih sebentar, jauh dari rutinitas intensif yang dulu ia jalani.
Di tengah kelaparan yang melanda seluruh Gaza, mempertahankan massa otot baginya bukan sekadar olahraga, melainkan bentuk bertahan hidup sekaligus perlawanan.
“Berat badan saya turun 14 kilogram, dari 72 kg menjadi 58 kg, sejak Maret,” kata Abu Youssef. Ia merujuk pada saat Israel memperketat blokade dengan menutup perlintasan perbatasan dan membatasi pasokan makanan.
“Jika makan sudah menjadi hal yang jarang di Gaza, olahraga bagi binaragawan seperti kami adalah cara untuk menjaga sedikit rasa normal,” ujarnya, dikutip dari Al Jazeera pada Kamis (21/8/2025).
Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) melaporkan hampir seluruh penduduk menghadapi kerawanan pangan parah, dengan kondisi di Gaza utara sudah masuk kategori kelaparan.
Lembaga medis internasional, Dokter Lintas Batas (MSF), mendokumentasikan kasus malnutrisi akut di seluruh wilayah. Mereka menyebut krisis ini sebagai bencana buatan manusia.
Program Pangan Dunia pun memperingatkan bahwa tanpa intervensi segera, kelaparan akan meluas, sedangkan bantuan menumpuk di perbatasan yang ditutup Israel.
Meski ada truk bantuan yang masuk, distribusinya nyaris mustahil dilakukan karena operasi militer dan kerusakan infrastruktur.
Sasana darurat di Al Mawasi
Di sela latihan singkatnya, Abu Youssef meraba otot-otot yang semakin menyusut. Ia kini hanya bisa berlatih sekali atau dua kali seminggu, dengan durasi kurang dari setengah jam.
“Kelaparan sepenuhnya memengaruhi kemampuan saya berlatih binaraga. Dulu saya bisa angkat besi 90-100 kg, sekarang hanya mampu 40 kg,” ujarnya.
Ia berlatih di sebuah sasana darurat di kawasan Al Mawasi, zona padat pengungsi di selatan Gaza. Fasilitas itu didirikan oleh pelatih Adly Al Assar (55), juara angkat besi internasional yang pernah meraih enam medali emas kejuaraan Arab 2020-2021.
Al Assar hanya berhasil menyelamatkan 10 dari 30 peralatan kebugaran miliknya setelah pusat latihan di Khan Younis hancur dibom. Sasana darurat itu berdiri di bawah tenda plastik seluas 60 meter persegi, dikelilingi tenda pengungsi.
“Dalam masa paceklik ini, semua berubah. Atlet kehilangan 10-15 kilogram dan tidak lagi mampu mengangkat beban seperti dulu,” kata Al Assar. Ia sendiri turun 11 kg, dari 78 menjadi 67 kg.
Jika sebelumnya lebih dari 200 orang berlatih setiap hari, kini hanya sekitar 10 persen yang masih bisa berolahraga, itu pun satu hingga dua kali seminggu.
Atlet muda kehilangan harapan
Salah satu pengunjung setia sasana tenda adalah Ali Al Azraq (20). Pemuda yang mengungsi dari Gaza tengah itu kehilangan lebih dari 10 kilogram berat badan, hampir seluruhnya massa otot.
Kemampuannya juga anjlok drastis: angkat beso dari 100 kg kini hanya 30 kg, back lift dari 150 kg menjadi 60 kg, dan latihan bahu dari 45 kg kini tak lebih dari 15 kg.
“Kerugian terbesar terjadi sejak periode kelaparan ini, terutama bulan lalu,” ujar Al Azraq.
Ia mengaku hanya bisa bertahan hidup dengan roti, nasi, atau pasta dalam jumlah kecil. Sementara makanan bernutrisi seperti daging, ayam, telur, ikan, sayuran, hingga kacang-kacangan benar-benar tak tersedia.
Al Azraq yang bercita-cita mengikuti kejuaraan panco Palestina hingga level internasional, kini terpaksa menunda mimpinya.
“Kelaparan ini yang terberat yang kami alami. Atlet seperti kami paling terdampak karena butuh asupan khusus, bukan sekadar makanan seadanya,” ucapnya.
https://www.kompas.com/global/read/2025/08/23/223239570/binaragawan-gaza-berjuang-pertahankan-otot-di-tengah-kelaparan